Lacolla. Kata itu pertama kali saya baca di sosial media twitter tahun
lalu. Ternyata itu nama salah satu air terjun yang ada di Kabupaten Maros.
Tidak ingin terlalu larut dalam rasa penasaran, saya mencoba mencari di
Google.com, dan akhirnya muncullah beberapa gambar air terjun yang
bersusun-susun. Sangat indah dan cantik, saya terpesona. Puas melihat-lihat
gambarnya, saya mencoba mencari infonya dengan penelusuran web. Tidak lama
muncul beberapa artikel yang membahas tentang air terjun Lacolla, saya coba
buka satu persatu, ternyata pembahasannya tidak terlalu memadai. Satu kata yang
timbul “PENASARAN”.
Berbekal dari informasi yang saya dapatkan dari beberapa teman di
sosial media Instagram dan Facebook yang
akhir-akhir ini ramai membahas Lacolla, saya merencanakan untuk mengunjungi
Lacolla. Menjawab beberapa tanya yang sering muncul di benak saya dan mengobati
rasa penasaran saya yang semakin subur gara-gara melihat postigan beberapa
teman di Instagram. Hari Minggu, tanggal 26 April 2015 merupakan hari yang saya
dan teman-teman saya rencanakan untuk mengunjungi Air Terjun Lacolla. Dan hari
itu telah tiba. Dari koordinasi terakhir ada
8 orang yang acc untuk berangkat, Saya, Asty, Aswan, Insar, Icchank,
Kamal, Fachry, dan Echa. Titik kumpul di Kampus Universitas Hasanuddin (Unhas)
Makassar, namun Insar dan Icchank akan bergabung di Sudiang nanti.
Perjalanan di mulai dari titik kumpul di Kampus Universitas
Hasanuddin, saya, Aswan, Echa , Asty, Fachry dan Kamal. Perjalanan kami ke arah
utara menuju Kabupaten Maros, kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota
Makassar. Di Sudiang, Insar dan Icchank bergabung bersama kami, dengan mobil
berbeda. Perjalanan di lanjutkan hingga memasuki kabupaten Maros. Tidak terlalu
lama untuk tiba di Kota Maros, ibukota kabupaten, Echa menyalakan weser kanan
di pertigaan Maros - Bone dan Maros Pangkep. Selepas kota Maros, memasuki
Kecamatan Bantimurung, kami disuguhkan dengan landscape pemandangan yang
memanjakan mata, landscape berupa hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning
serta kawasan Karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Sudah hampir 30 menit kami meninggalkan kota Makassar, sekarang sudah
masuk di Kecamatan Cenrana. Di rombongan ini hanya saya dan Kamal yang memiliki
sedikit gambaran tentang jalur menuju
Lacolla, dan itupun gambaran yang agak kabur. Daripada tersesat, mendingan
singgah bertanya. Seorang bapak-bapak yang duduk santai diteras rumahnya
menjadi target kami, dengan memasang muka ramah, saya bertanya pada beliau tentang
jalan menuju Lacolla. “ Terus-terus sampai dapat pasar Cenrana dan sekolah,
tidak jauh dari situ ada tulisan ‘Gerbang Emas’, disitu nanti belok kanan”.
Berbekal info dari beliau, perjalanan kami lanjutkan hingga mendapat
tanda-tanda tersebut. Sebuah papan dengan dua tiang di sebelah kanan bahu jalan
bertuliskan “GERBANG EMAS”, dan saya tidak membaca tulisan yang lainnya lagi,
hahahaha. Weser kanan menyala, rtandanya mobil akan berbelok ke arah kanan.
Perbedaan sangat mencolok setelah berbelok ke kanan, jalan yang
tadinya aspal mulus kini berganti menjadi jalan yang hanya berupa pengerasan
yang dilapisi batu gunung. Medan yang menantang, echa melambatkan laju
kendaraan, karena kondisi jalanan yang tidak memungkinkan untuk memacu
kendaraan dengan laju yang tinggi. Hanya beberapa rumah yang ada di sisi kanan
dan kiri jalan, setelahnya itu yah hutan. Sepuluh menit berkendara, teman-teman
yang lain mulai bertanya ke saya “Aci’ dimanakah sebenarnya?, mauki’ kemana
ini, mana ndada lagi jaringan”. Saya hanya tersenyum sembari menjawab “yah
mauki’ ke Lacolla toh, ndag takutjaka tersesat kalau sama kalianji”. Echa mulai
gusar karena bensin mobil sudah hampir habis. Serasa dunia saya jungkir balik,
arah yang tidak jelas, bensin yang hampir habis, di tengah hutan dan tidak ada
jaringan untuk berkomunikasi melalui telpon genggam. Tetapi saya kembali
meyakinkan teman-teman, bahwa jalur yang kami tempuh sudah benar, mengingat
papan penunjuk yang tadi di bahu jalan. Aswan memberikan solusi, singgah
bertanya, tetapi solusinya itu membuat saya tertawa dalam hati, bagaimana
caranya singgah bertanya jika kita di tengah hutan, tidak ada orang selain
kami. Saya tidak tahu persis dengan apa yang terjadi di mobilnya Insar, apakah
mereka menyesal ikut atau bagaimana, atau selalu bertanya kapan sampainya. Masih
dengan suasana tidak tahu arah, bensin yang mulai menipis, kami berpapasan
dengan sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang laki-laki paruh baya. Niatnya
ingin bertanya tetapi muka orang tersebut sangat garang dan seolah-olah tidak
berpapasn dengan kami, tidak ada ekspresi, tidak ada klakson antara kami dan
dia, dia hanya berlalu saja.
Kami mulai yakin jika jalan yang kami lalui sudah benar setelah
berpapasan dengan bapak tersebut, dan tidak lama kemudian kami berpapasan
lagi denan seorang pengendara motor, kami memutuskan tidak bertanya lagi karena kami
yakin ini jalur yang benar. Ada motor ada mobil yang keluar, artinya di dalam
ada kampung, dan pasti ada penjual bensin. Akhirnya semua masalah hampir
terpecahkan dengan solusi yang kami terka-terka. Setengah jam
terguncang-guncang di tengah hutan, dikejauhan kami melihat sebuah atap rumah,
dan perlahan kami melihat beberapa rumah, akhirnya kami bisa bernafas lega,
akhirnya kami bisa singgah untuk bertanya.
Sesampainya di depan rumah tersebut, saya singgah bertanya pada
pemilik rumah itu, dari beliau kami mendapat informasi jika lokasi Air Terjun
Lacolla masih di atas lagi, sekitar 2 KM. Semangat kami untuk tiba di Lacolla
semakin bertambah, setelah berterima kasih kami melanjutkan perjalanan,
meninggalkan perkampungan yang mungkin hanya sekitar 10 rumah tersebut, kembali
kami melewati jalan dengan pemandangan hamparan sawah yang padinya sudah mulai
menguning, pemandangan sawah khas perbukitan, sawah yang bersusun-susun.
Beberapa menit kemudian kami menemukan perkampungan lagi, dan di perkampungan
ini ada penjual bensin, betapa senangnya kami. Akhirnya kami batal dorong
mobil, akhirnya kami batal menginap di hutan. Harga 1 liter bensin disini
Rp.9.000, kami mengisinya 5 liter, harga bukan lagi masalah bagi kami, daripada
harus menginap dihutan atau dorong mobil, kan tidak lucu. Beli bensin sambil
cari informasi. Masih di atas lagi kata ibu penjual bensin itu.
Jalanan beralih dari pengerasan batu gunung menjadi pengerasan beton,
ternyata program PNP Mandiri sudah masuk disini. Tidak lama kami mendapatkan
batas desa antara Desa Cenrana Baru dan desa sebelumnya yang kami tidak tahu
namanya. Itu artinya lokasi semakin dekat. Dan kami bersorak kegirangan ketika
dikejauhan terlihat sebuah perkampungan, ada Sekolah, dan ada Menara Mesjid.
Dan tidak lama kemudian kami melewati sebuah gerbang yang di cat berwarna
kuning keemasan, dan itulah “GERBANG
EMAS” yang dimaksud papan yang diluar sana tadi. Sesampainya di pusat
desa, kami sisa mengikuti papan arah yang bertuliskan “WISATA LACOLLA” yang
dibuat oleh mahasiswa KKN UNM tahun 2014, dan itu sangat membantu. Perjalanan
kami terhenti di ujung jalan pengerasan. Karena sesuai info yang saya dapat
dari teman di Facebook disitulah kami harus memarkir, karena jalanan selanjutnya
masih jalanan tanah yang agak becek.
Mobil kami simpan di tempat parkiran tersebut. Saatnya melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki, kira-kira sekitar 100 meter, kami mendapatkan
papan penunjuk arah lagi. tak lupa singgah untuk berfoto selfie, kondisi jalan
masih rata. Puas berselfie, kami melanjutkan perjalanan, dan kondisi jalan
mulai menurun, jalanan menurun, dan berkelok-kelok dengan kondisi tanah yang
agak gembur, mungkin dikarenakan oleh hujan yang baru turun. Setelah berjalan
kaki hampir 10 menit riuh air terjun mulai kedengaran, semakin dekat semakin
jelas. Kami melewati air terjun yang tinggi dengan suara gemuruh itu, kami
terus mengikuti jalan setapak, ternyata hanya air terjun mini setinggi kurang
lebih 1 meter. Kami sempat kecewa karena ternyata tidak sesuai yang kami
harapkan, tetapi tak kami lewatkan untuk tetap selfie dan foto-foto pada
bongkahan batu yang besar-besar tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk turun
ke air terjun yang gemuruh itu. Medan menuju air terjun utama lumayan sulit,
agak curam dan licin jadi harus berhati-hati. Tetapi setelah sampai di dekat
dan bisa melihat langsung, hanya satu yang bisa saya ucapkan. “SUBHANALLAH,
Maha Besar Allah dengan segala ciptaannya”.
Air Terjun Lacolla, terletak di Desa Cenrana Baru, Kecamatan Cenrana,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Berjarak kurang lebih 70
KM dari Kota Makassar, dengan waktu tempuh antara 2 hingga 2 stengah jam. Air
Terjun dengan ketinggian hampir 20 meter, dengan lebar kurang lebih 10 meter,
dan bertingkat 5 ini sungguh sangat indah dan cantik. Seluruh peluh dan rasa
perjuangan terbayarkan, dan yang pastinya rasa penasaran menjadi hilang.
Kecantikan dan keindahannya memanjakan mata, riuh airnya yang jatuh menjadi
symphony yang memanjakan telinga, serta airnya yang dingin mampu memanjakan
kulit yang lelah selama perjalanan. Sebelum beraksi, kami mengisi perut dulu
dengan bekal yang kami bawah dari Makassar, makan siang ramai-ramai di balik
bongkahan yang sangat besar di pinggir aliran air sangat terasa nikmat. Waktu
kami datang, airnya lumayan besar, sehingga saya agak takut untuk main air,
tetapi beberapa teman yang lain sempat main air, Kamal, Fachry, Insar, Echa
sempat main air sampai puas. Sementara kami yang lain hanya berfoto dan
menikmati keindahan Lacolla. Kurang lebih 3 jam bercengkrama, kami memutuskan
untuk kembali. Jarum jam menunjukkan pukul 3 sore, kami berkemas untuk pulang.
Setelah memastikan sampah kami tidak ada yang tertinggal, kami meninggalkan air
terjun Lacolla dengan perasaan bersyukur dan sangat puas. Perjuangan dimulai
kembali untuk menaklukkan jalur menuju tempat mobil parkir, kondisi jalan 80%
mendaki, dengan nafas yang ngos-ngosan, kurang lebih 10 menit akhirnya kami
tiba di tempat mobil parkir. Dan kini saatnya kami kembali ke Makassar.