Jeneponto, mungkin hampir semua orang yang bukan orang Sulawesi Selatan tidak tahu tempat ini, atau bahkan orang Sulawesi Selatan sendiri mungkin masih ada yang belum tahu Jeneponto. Jeneponto merupakan sebuah kabupaten di pesisir selatan Sulawesi Selatan yang menghadap langsung ke Laut Flores. Pusat pemerintahan Kabupaten Jeneponto terletak di Kota Jeneponto, dengan jarak tempuh sekitar dua jam dari Kota Makassar, atau sekitar 90 KM. Berbicara tentang Jeneponto, mindset orang kebanyakan dan termasuk juga saya sebelumnya, pasti tertuju dengan kondisi cuaca yang sangat gersang, coto kuda, gantala jarang dan garam. Tetapi untuk tulisan saya pada kesempatan ini saya akan menulis tentang review perjalanan saya ke Jeneponto. Dan ini adalah salah satu sisi lain Kabupaten Jeneponto yang banyak orang tidak tahu.
Entah nama tempatnya apa, tetapi viewnya keren sekali |
Saya dan keempat teman saya, Nurfaisah Arsal, Kurniawan, Debie Natalia, dan Andang, menuju ke Kabupaten Jeneponto sesaat setelah mentari mulai bersinar di ufuk timur. Perjalanan menuju Kota Jeneponto yang harusnya hanya ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 jam, tetapi harus ditempuh dengan waktu kurang lebih 3 jam. Hal ini dikarenakan karena kami berangkat bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 alias pada tanggal 17 Agustus. Kendala pertama saat melewati Kabupaten Gowa, yaitu macet parah yang terjadi di Pasar Tumpah Panciro yang berhadapan langsung dengan Stadion Kalegowa. Aktivitas Pembeli dan Penjual yang menggunakan bahu jalan serta parkiran kendaraan para peserta upacar peringatan HUT Kemerdekaan RI di Stadion Kalegowa otomatis membuat laju kendaraan tersendat. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk lolos dari kemacetan ini, padahal semestinya biasanya hanya 5 menit. Kendala kedua saat kami melintas di Kota Takalar, meskipun tidak separah di Gowa tetapi lumayan macet juga di Depan Kantor Bupati Takalar, karena upacara HUT Kemerdekaan RI dipusatkan disini. Dan kendala ketiga saat kami memasuki kawasan Kota Jeneponto. Jalur Satu Arah Jalan Lanto Dg Pasewang ditutup untuk pengendara umum, hanya untuk pengendara yang akan mengikuti upacara, sehingga kami harus berputar-putar sebanyak dua kali untuk mencari arah menuju ke Kecamatan Rumbia.
The Abalz |
Dari Pusat Kota Jeneponto ke Kecamatan Rumbia berjarak sekitar 40 KM atau sekitar 1 jam perjalanan melalui Jalan Sungai Kelara. Sepanjang jalan kami disuguhkan oleh hiruk pikuk aktivitas warga khas pedesaan. sengaja saya menurunkan kaca mobil supaya dapat melihat secara langsung aktivitas mereka, tak jarang mereka yang kami temui ke kami, memberikan senyum hangat dan menyapa kami. Khas PEdesaan banget, Senyum Tulus tersungging dari bibir mereka mampu meneduhkan jiwa. Saya harus turun bertanya pada seorang warga ketika kami menemukan persimpangan, berkat arahannya perjalanan kami lanjutkan menuju ke Kecamatan Rumbia. Selanjutnya kami dibuat tercengang oleh pemandangan areal persawahan yang menghijau, ternyata Jeneponto tak segersang yang kami pikirkan. Belum habis kekaguman kami akan indahnya areal persawahan yang terletak di sebelah kiri jalan, kami langsung disuguhkan oleh pemandangan sebuah lembah yang dikelilingi oleh beberapa bukit. Lembah itu berupa areal persawahan yang tengah-tengahnya dibelah oleh aliran sungai, sungguh sangat indah, ibarat lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Kami tak tahan untuk singgah sejenak mengabadikan pemandangan ini. Sekali lagi, Jeneponto tak segersang yang kami pikirkan.
Saatnya memilih, mau yang santai atau yang penuh tantangan |
Puas berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju ke tujuan utama kami, yaitu Bukit Bossolo Rumbia. Keramaian mulai tampak saat kami semakin dekat dengan Lapangan Kecamatan Rumbia. Sesuai dengan info yang diberikan oleh google hidup alias warga yang kami tempati untuk bertanya tadi, bahwa tujuan kami tidak jauh dari Lapangan Rumbia. Kami memutuskan untuk berhenti didepan sebuah kios untuk bertanya. Wawan harus memundurkan mobil, karena jalan masuk ke Bukit Bossolo terlewati sekitar 20 meter. Sekitar 200 meter masuk, kami tiba di pos penjagaan. Sebelum masuk kami diharuskan untuk membayar Rp. 5.000 per orang dan biaya parkir mobil Rp. 10.000. Lalu kami diarahkan untuk menuju ke spot Bukit Bossolo. Jalanan menuju parkiran lumayan membuat mobil agak mengeluh, dan untuk sampai diparkiran, harus melewati jalanan ini sepanjang 100 meter kira-kira. Tibalah kami diparkiran. Di sekitar parkiran terdapat papan penunjuk arah, untuk menuju ke Bukit Bossolo View Air Terjun Tamalulua kami harus berjalan mengikuti jalan pengerasan sejauh 450 meter, sedangkan untuk menuju Air Terjun Tamalulua kami harus menuruni jurang dan berjalan sekitar 750 meter. Karena trip ini adalah trip dadakan tanpa persiapan dan tak ingin mengambil resiko mengingat kondisi kami juga akhirnya kami memilih ke Bukit Bossolo saja.
Bukit Bossolo dengan View lembah yang keren dan air terjun Tama'lulua |
Jalan Pengerasan yang lebih mirip dengan jalan setapak tersebut diapit oleh jurang di sebelah kiri dan kebun ubi di sebelah kanan. Sekitar 10 menit kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak tersebut, akhirnya kami tiba di sebuah bukit yang agak lapang dengan latar tulisan "BOSSOLO". Dari tanah lapang ini kami bisa menikmati pemandangan yang sempurna, di depan sana terdapat lembah dan bukit yang dijadikan sebagai ladang jagung oleh warga sekitar. Tak hanya itu, Air Terjun Tama'lulua menjadi penyempurna pemandangan dari bukit ini. Sungguh Maha Besar Tuhan Sang Pencipta Semesta. Kami tak perduli sebagaimana teriknya sinar matahari pukul 11 siang, kami tetap asyik berfoto tanpa takut hitam. Prinsip kami, mengapa jauh-jauh dari Makassar ke sini jika hanya ingin jaim-jaiman. Bukit Bossolo ini memiliki 3 spot foto yang sangat keren, dan pemandangan dari sudut pandang yang berbeda. Yaitu Tanah lapang yang berlatar tulisan BOSSOLO, Puncak Bukit Bossolo, dan Sebuaah Batu yang berada di tepi Jurang di bawah Tulisan BOSSOLO.
Dari Spot pertama ke spot ke dua yaitu puncak bukit Bossolo, kami harus mendaki sekitar 20 meter dengan kondisi kemiringan sekitar 80 derajat. Spot kedua ini hanya sepanjang 2 meter dan lebar 1,5 meter, dikelilingi oleh jurang yang terjal. Untuk menjaga keamanan pengunjung sekeliling pinggir bukit ini dipasangi pagar kawat setinggi 1 meter dan diberi papan peringatan untuk tidak berdiri di luar pagar kawat tersebut. Sekitar 15 menit kami mengabadikan moment dan lumayan kepanasan, akhirnya kami memutuskan untuk beranjak ke spot ketiga. Tanpa kami sadari, di bawah sudah ada rombongan yang antri untuk naik berfoto di spot tadi. Dengan malu-malu seorang akhirnya berani mendekat dan meminjam bendera yang kami bawa untuk mereka pakai berfoto juga. MERDEKA. Selanjutnya kami beranjak menuju ke spot ketiga yaitu sebuah batu yang ada di pinggir jurang. Untuk menuju ke spot ketiga lumayan harus memacu adrenalin bagi kami, terutama bagi saya yang lumayan fobia pada ketinggian. Saya harus mati-matian untuk melawan diri saya agar tidak takut untuk menuju ke spot tersebut. Jalan menuju spot tersebut hanya berupa jalanan sempit yang lebarnya tak kurang dari 30 cm dengan kondisi yang agak miring. sebelah kiri adalah jurang dengan kedalaman sekitar 30 meter dan sebelah kanannya adalah tebing yang berdiri tegak lurus tanpa ada sesuatu yang bisa menjadi pegangan. Sehingga saya harus berjalan sangat pelan tanpa melihat ke samping. Bahkan sebelum tiba di spot tersebut, saya sempat dilema untuk kembali lagi dan tak usah sampai ke spot tersebut. Tetapi empat anak muda di spot tersebut menyemangati saya untuk tetap melanjutkan perjuangan saya. Dengan sedikit tertatih dan merangkak, akhirnya saya tiba dan bisa bernafas lega di spot tersebut.
Butuh perjuangan melawan diri sendiri untuk menyingkirkan rasa takut agar bisa sampai di sini |
Melihat saya yang bisa sampai di spot tersebut, membuat Icha dan Debie memberanikan diri mengikuti jejakku, meski agak pelan. Berbeda dengan Wawan dan Andang yang sangat gampang untuk tiba di spot ini, karena Wawan lumayan sering mendaki gunung, sehingga medan seperti ini tak berarti apa-apa bagi dirinya. Wawan dan Andang bahkan hanya butuh sekitar 1 menit untuk melewati jalan tersebut, sedangkan saya butuh sekitar 3 menit dengan tangan agak gemetaran baru bisa sampai di spot batu tersebut. Anak muda yang sebelumnya di spot ini ternyata menunggu kami disini, untuk meminjam bendera yang kami bawa untuk dia pakai berfoto. Eforia berfoto dengan bendera sangat tinggi karena bertepatan dengan ahri kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah berfoto dengan bendera akhirnya mereka pamit dan membiarkan kami berlima menikmati spot tersebut. Spot ini merupakan spot sempurna untuk menikmati keindahan Air Terjun Tama'lulua dari keindahan. Air Terjun tama'lulua kelihatan sangat indah dari kejauhan. Meskipun waktu kami datang bukan saat yang tepat. Debit airnya lumayan kecil, karena sekarang sudah memasuki musim kemarau. Selain itu kedatangan kami sebelum matahari condong kebarat juga mempengaruhi kualitas gambar yang kami potret, karena masih silau. Mungkin waktu terbaik untuk main kesini pada saat musim hujan dan sore hari, karena selain debit airnya besar, pepohonan sekitar menghijau, juga karena sinar matahari langsung memapar ke air terjun sehingga tidak silau lagi.
Gado-gado, salah edit (Kiri atas - Istirahat dikios penjual di Bukit Bossolo, Kanan atas dan kiri bawah - menuju Bukit Bossolo dari parkiran, Kanan bawah puncak bukit Bossolo atau spotke dua) |
Meskipun tak sesempurna dengan harapan saya, tetapi saya tetap menikmatinya, Tak ada kata kecewa yang terucap dari bibir saya, bahkan saya sangat bersyukur akhirnya saya bisa mampir ke tempat ini tanpa perencanaan yang panjang yang berujung kebatalan. Bukit Bossolo view Air Terjun Tamalulua ini sudah beberapa bulan terakhir ini menjadi destinasi impian saya yang sangat ingin saya kunjungi. Tetapi berhubung tidak ada teman ngetrip, karena yang biasa saya temani ngetrip beberapa orang sudah tidak asik lagi dan beberapa orangya lagi berhalangan sehingga hasrat itu terus terpendam. Akhirnya hanya 5 hari merencanakan trip ini, eh ternyata kesampaian. Jadi buat apa saya mengeluh dan kecewa. Bahkan saya bertekad untuk kembali main kesini, bersama mereka, ibu Kost Aswaliaty Anwar, Kamal Sidik dan Nurul Aswan, dan tentunya nanti insha Allah sudah ada baby Quinzha dan Anaknya Aswan yang akan menjadi primadona dalam trip kami selanjutnya. Trip ini sangat menyenangkan, karena satu lagi mimpi saya akhirnya terwujud. Kami pun pulang dengan sangat senang dan puas.
Terima Kasih Tuhan, saya bangga terlahir sebagai orang Indonesia |
DIRGAHAYU INDONESIAKU, selamat ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta, apapun kata orang tentang Indonesia, saya akan tetap cinta dan bangga akan Indonesia. Jika saya tak mampu mengharumkan namamu dimata orang, setidaknya saya berusaha untuk senantiasa menggunakan bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. SAYA CINTA INDONESIA.
Keren banget |
Terima Kasih Tuhan,
Terima Kasih Kabupaten Jeneponto,
Terima Kasih Bukit Bossolo,
Terima Kasih Indonesia,
Terima Kasih Bukit Bossolo,
Terima Kasih Indonesia,
Terima Kasih Orang Tua kami,
Terima Kasih Icha, Debie, Wagil dan Andang
Sampai Jumpa pada kesempatan berikutnya, dan review trip selanjutnya.
Karena Jeneponto Lebih Keren dari apa yang Kamu Pikirkan |
Achyie Sabang
September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar