Rabu, 04 Februari 2015

Nasu Itik Palekko, Si Pedis Dari Ranah Bugis Yang Bikin Lidah Bergoyang Ala Chef Achyie Sabang



Kali ini saya kembali menuis, tetapi bukan tentang jalan-jalan, ataupun cerpen dan juga bukan puisi, melainkan tentang kuliner. Kuliner atau makanan merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanpa makanan manusia tidak bisa hidup, karena dari makananlah kita memperoleh asupan gizi, vitamin dan zat-zat lainnya yang menjadi penyokong dalam keberlangsungan hidup kita.
Itik, bahan dasar nasu itik palekko
Hari ini saya sudah bangun pagi-pagi, sesuai dengan janjian saya dengan Sahar yang akan menjemput saya. Matahari kota Makassar tidak kelihatan masih tertutup awan tebal. Gerimis mulai turun saat Sahar datang menjemput saya. Yakin pintu sudah tertutup rapat, saya langsung naik di boncengan motor Sahar. Sahar mengarahkan motornya ke arah timur menuju Daya. Kami singgah di pasar  tradisional di perempatan lampu merah Daya. Kios yang paling pertama kami sambangi adalah kios penjual unggas potong. Penjaga kios menghampiri kami menanyakan kami mencari apa. Kami sudah berdiri di depan kandang yang di dalamnya bercampur antara itik dan bebek. Kami menanyakan harga itik tersebut. Harganya Rp.55.000 satu ekor. Karena kami lumayan sering membeli itik disini jadi kami tawar dengan harga Rp.50.000 dan penjaganya mengiyakan. Harga tersebut sudah termasuk dengan ongkos pemotongannya, pencabut bulunya. Jadi kami sisa terima beres dan itik sudah siap di masak. Kami di suruh memilih yang mana yang kami suka, tetapi kami menyerahkan kepada penjaganya yang penting itiknya jantan dan masih muda. Itik yang jantan lebih enak daripada itik betina, dan itik yang masih muda itu dagingnya tidak keras dan alot sehingga tidak menyusahkan saat dimakan. Penjaga kios memilih satu ekor lalu menunjukkan ke kami dan kami menyetujuinya. Kami menginformasikan supaya daging itiknya dipotong kecil-kecil atau dicincang.
bumbu-bumbu yang dihaluskan
Supaya waktu bisa diefisienkan, saya mengajak Sahar menuju kios penjual bumbu dapur yang tidak jauh dari kios penjual unggas potong. Di pasar ini ada banyak penjual, sisa memilih yang mana yang menurut anda dagangannya masih segar. Kami memilih salah satu kios yang menurut kami cabai rawitnya lumayan merah dan mengkilap. Kami memutuskan untuk membeli bumbu di kios ini karena ibu penjualnya ramah. Cabai rawit yang ditakar dengan tempat eskrim kecil seharga Rp.3.000. Bawang merah ¼ liter dengan harga Rp.5.000 dan bawang putih  Rp.1.000. Serai 2 batang Rp.1.000, biasanya dijual Rp.2.000 per ikat, tetapi karena kami tidak butuh banyak jadinya kami menawarnya dan boleh dibeli 2 batang saja. Lengkuas 2 ruas, Rp.1.000, sama dengan serai, kami juga menawarnya meminta sepotong saja, karena kalau kami membeli yang besar takutnya mubazir dan tidak terpakai semua. Dengan uang Rp.11.000 kami bisa mendapatkan semua bumbu yang kami butuhkan, dan tentunya masih segar. Hal inilah yang membuat kami lebih suka berbelanja di pasar tradisional. Harga murah, bisa menawar, banyak pilihan, dagangan yang masih segar, itulah keuntungan berbelanja di pasar tradisional. Selain itu kami juga bisa membantu keberlangsungan usaha para pedagang tradisional sehingga pedagang tersebut bisa terus mengembangkan usahanya.
Bumbu-bumbu yang dimemarkan
Semua bumbu yang kami butuhkan sudah kami dapatkan. Waktunya kembali ke kios penjual unggas potong. Pesanan kami masih dikerjakan saat kami tiba dikios tersebut, sehingga kami mesti menunggu. Kios ini lumayan ramai pelanggan sehingga pengerjaan pesanan harus antri. 15 menit kemudian penjaga kios yang tadi melayani kami datang menghampiri lalu menyerahkan pesanan kami. Sahar mengambil kantongan hitam tersebut kemudian membayarnya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada penjaga kios tersebut kami meninggalkan kios tersebut menuju ke tempat parkiran motor.
Bumbu penyedap
Kami berdua menuju ke rumah Sahar di BTP untuk mengolah bahan-bahan yang kami beli tadi. Kuliner yang akan kami buat adalah NASU ITIK PALEKKO. Nasu itik Palekko merupakan makanan tradisional masyarakat Bugis dengan bahan dasar daging itik dengan rasa yang lumayan pedis. Bahan dasarnya bisa diganti, bisa ayam ataupun bebek, terserah kesukaan atau pilihan kita. Tetapi kebanyakan menggunakan daging itik. mungkin dikarenakan daging itik mengandung minyak khusus sehingga menjadikan masakan lebih lezat dan enak. Sesampainya di rumah Sahar saya langsung menuju dapur bersiap mengolah semua bahan tersebut.
Nasu Itik Palekko yang sudah jadi
Pertama-tama bersihkan daging itik tersebut, karena biasanya ada bulu-bulu kecil yang tersisa, dan biasanya juga potongannya masih terlalu besar sehingga masih harus dipotong supaya ukurannya lebih kecil lagi. Jika daging sudah bersih masak menggunakan wajan dengan air secukupnya. Bersihkan lengkuas dan serai, kemudian lengkuas yang sudah bersih diiris tipis lalu dimemarkan bersama batang serai tersebut, kemudian memasukkan kedalam daging yang dimasak tadi. Selanjutnya kupas bawang merah dan bawang putih secukupnya sesuai selera, saya memilih 15 siung bawang merah dan 7 siung bawang putih. Bawang merah dan bawang putih yang sudah dibersihkan kemudian ditumbuk halus menggunakan ulekan tradisional. Bisa juga di blender jika memiliki blender. Menurut Sahar lebih enak jika diulek, tekstur bawangnya masih terasa, berbeda jika diblender semuanya menjadi bubur dan halus menjadi satu. Tetapi bukankah memang kami tidak memiliki blender, jadi otomatis harus diulek. Hahahaha. Jika sudah halus, kini tiba giliran cabai rawit diulek, ulek sampai halus. Mengenai jumlahnya tergantung selera apakah suka pedis atau tidak. Bumbu yang sudah dihaluskan kemudian dimasukkan kedalam masakan tadi. Agar bumbu merata maka harus diaduk. Garam halus, gula pasir, dan penyedap rasa kemudian dimasukkan sambil diaduk supaya merata. 30 menit sudah berlalu, daging itiknya sudah mulai empuk dan air masakan sudah hampir mengering. Saya mencoba mengicipnya, karena yang akan memakan masakan ini adalah saya dan Sahar, sehingga saya memutuskan mengajak Sahar untuk mengicipnya. Menurut Sahar rasanya sudah mantap, sisa rasa asinnya yang kurang sedikit. Setelah membubuhkan sedikit garam saya aduk hingga airnya betul-betul mengering. Tidak perlu khawatir karena daging itik mengandung minyak khusus sehingga jika dibiarkan 2-3 menit tidak bakalan hangus asalkan apinya tidak kebesaran.
Nasu Itik Palekko siap disantap bersama nasi hangat
Nasu itik Palekko sudah masak, nasi putih pun sudah masak, saatnya menyantap hasil masakan saya. Saya dan Sahar langsung menikmati masakan tersebut. Sahar tidak henti-hentinya memuji masakan saya. Saya bercanda minta di bayar, karena masakan saya enak. Kami tertawa bersamaan sambil menikmati nasi putih yang mengepul dan nasu itik palekko yang membuat lidah kami bergoyang dangdut kepedisan. Tak lupa kami menyediakan piring kecil kosong tempat meletakkan tulang-tulang bekas makanan kami. 40 biji cabai rawit cukup membuat kami butuh air minum ekstra setelah makan. Alhamdulillah kami kenyang dan masih tersisa ½ lagi nasu itik palekko tersebut. Masih bisa untuk makan malam kami. Ngomong-ngomong memakan Nasu itik palekko lebih enak dan lezat jika makannya pakai tangan.
Nasu Itik Palekko namanya diambil dari bahasa Bugis, Nasu yang berarti masak, sedangkan Palekko adalah sejenis penutup wajan yang terbuat dari tanah liat, dan Itik adalah bahan dasar untuk membuat nasu itik Palekko. Nasu Itik palekko di kalangan anak muda Bugis biasa disingkat menjadi NSP. Jadi jangan heran jika mereka bilang “ingin rasanya makan NSP”.
Bahan-bahan yang menjadikan itik tadi menjadi lebih enak dan lezat
Bahan-bahan untuk membuat Nasu Itik Palekko “NSP”
  Bahan Utama                              :Itik, utamakan yang jantan dan masih muda
  Bahan yang dihaluskan             :Cabai Rawit, Bawang Merah dan Bawang Putih
  Bahan yang dimemarkan           :Lengkuas dan Serai
  Bahan penyedap                         :Garam, Penyedap rasa, dan Gula
 Air secukupnya


Achyie Sabang. Sampai jumpa pada experimen resep selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar