Puas menikmati sunset di Kafe Paradise, kami
berempat kembali menuju ke hotel. Kebetulan letak hotel kami berada pas di
kampong kuliner Kampung Ujung, jadi sebelum masuk hotel, kami mampir dulu untuk
makan malam. Kampung Kuliner Kampung Ujung agak mirip dengan Pantai Losari
sebenarnya. Penjualnya berderet dari ujung ke ujung di pinggir pantai,
sama-sama buka pada malam hari saja. Bedanya, jika di Pantai Losari kulinernya
berupa pisang epe, sedangkan di Kampung Ujung semuanya menjajakan makanan laut,
ikan yang segar-segar, lobster, udang dan tak ketinggalan ayamnya juga.
Ikan Cepa dan Ikan Kakap bakar ala Kampung Kuliner Kampung Ujung |
Kami memilih salah satu stand yang pengunjungnya
tidak terlalu ramai, agar kami bisa bebas. Sebelum memilih tempat duduk,
pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah, “ada jeruk nipis?”. Kenapa mesti
harus ada jeruk nipis? Karena orang Makassar makan ikan bakar atau apalah tidak
lengkap rasanya jika tidak ada jeruk nipis. Orang Makassar pasti setuju. Jika
pengunjung tidak terlalu ramai, selain bebas bergerak otomatis pesanan pasti
cepat selesai. Dan betul, tidak perlu menunggu lama, pesanan kami langsung
dihidangkan, 2 ikan bakar jumbo, kakap dan cepa terhidang di hadapan kami.
Sangat menggoda. Perut yang langsung keroncongan dan liur yang semakin encer
melihat ikan bakar tersebut membuat kami langsung menyantapnya. Kami berempat
kewalahan menyantap kedua ikan jumbo tersebut. Rasanya betul-betul membuat
lidah menari-nari. Banyak yang bilang, tidak afdol ke Labuan Bajo jika tidak
mengunjungi dua tempat di Kota tersebut, yakni, Kampung Kuliner Kampung Ujung
dan Kafe Paradise. Dan betul sekali pendapat tersebut, karena di kedua tempat
itu, kita betul-betul dimanjakan. Satu tempat memanjakan mata dan satu lagi
tempat memanjakan lidah. Satu lagi fakta dari kampong ujung, harga makanannya
murah dan bersahabat, penjualnya juga rata-rata perantau dari Sulawesi Selatan.
Ekspresi sudah lapar, tetapi disuruh untuk selfie |
Mata sudah puas, perut juga sudah puas, saatnya
kembali ke hotel untuk bersih-bersih dan istirahat. Namun ketika keluar dari
tempat makan, kami dihadang oleh beberapa orang penjual kan khas Flores.
Awalnya kami tidak tertarik karena sudah lelah, dan gerah seharian jalan terus.
Tetapi karena kegigihan para penjual kain tersebut akhirnya kami melirik juga,
dan kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh mereka untuk menunjukkan semua
dagangannyan. Mulai dari Blanket tenun Flores, syal dan ikat kepala. Kainnya
cantik-cantik dan unik ternyata, harganya? Unik juga, Rp.350.000 per lembar. Dengan
proses tawar menawar satu kain blanket saya dapat dengan harga Rp.200.000.
Kegigihan Mitha dalam menawar membuatnya mendapatkan kain yang lebih murah lagi
dibanding saya, 1 blanket dan 1 syal di dapat dengan harga Rp.200.000. Uncle
Japh dan Topan masih belum tertembus benteng pertahanannya. Kain sudah kami
dapat, kami berempat langsung menuju hotel. Ternyata kami diikuti oleh seorang
penjual kain lagi menuju lobby hotel, dan
distu terjadi lagi proses tawar menawar yang sengit antara Uncle Japh,
Mitha dan Penjual kain tersebut. Dari kain harga Rp.300.000 dia dapatkan menjadi
Rp.100.000. Lumayan juga mereka menawar.
Kain hasil buruan Mitha, Rp200.000, kain kualitas terbaik dan inklud syal |
Selesai proses pembelian kain untuk oleh-oleh dan
pribadi kami menuju kamar, untuk istirahat dan bersih-bersih diri. Rasa kantuk,
lelah sirna setelah air hangat mengguyur tubuh kami, seolah kantuk dan lelah
terbawa oleh air hangat yang mengguyur tubuh kami. Saya melihat kain saya, kain
tersebut saya belikan untuk ibu saya, rasanya kurang deh untuk tante saya dan
ketiga kakak perempuan saya. Saya memutuskan untuk turun dari hotel sendiri
mencari penjual kain. Harga penawaran dari seorang penjual kain yang saya
panggil masih sama, Rp.350.000 untuk kain dengan kualitas terbaik, sedangkan
kualitas nomor dua dia tawarkan Rp.300.000. Tanpa basa-basi, saya mengatakan
saya ingin mengambil 4 lembar, jadi total penawaran si bapak Rp.1.400.000. saya
langsung menawar Rp.500.000 untuk 4 lembar kain kualitas terbaik. SI bapak
mentah-mentah menolaknya, dia menurunkan menjadi 1,2 juta, saya tetap keukeh
pada penawaran saya. Turun, turun, dan turun hingga dia patok harga mentok
Rp.800.000. sekali Rp.500.000 tetap Rp.500.000, itu prinsip saya. Dengan modus
penawaran umumnya, berpura-pura pergi, lalu si bapak berteriak tujuh setengah,
saya tetap melangkah tanpa menoleh, lalu turun tujuh ratus. Dalam hati saya,
yes sedikit lagi. Sekali lagi tanpa menoleh, hingga si bapak berteriak, OK
ambil Rp.500.000 4 kain, silakan dipilih. Dengan secepat kilat saya berbalik
menoleh, tanpa menyia-nyiakan saya langsung memilih 4 kain yang saya incar, 2
biru, 1 merah dan 1 hijau. Fix, Rp.500.000 untuk 4 kain. Rekor saya dalam
menawar, dari harga Rp.1.400.000 hingga turun ke Rp.500.000. hahahah, ibu-ibu
kompleks lewat. Sesampainya di hotel lalu memperlihatkan ke Mitha, Uncle Japh
dan Topan hasil perburuan saya, satu kalimat dari mereka, “Gila”, kuat banget
nawarnya”.
Rp.700.000 untuk 5 Lembar Kain Blanket Khas Flores |
Sesuai rencana awal, setelah mandi, rencananya
langsung istirahat, agar besok bisa fit untuk mulai trip sailing Komodo. Tetapi
karena kebiasaan kami sebelum ke Labuan Bajo, yang suka dan rajin begadang,
mata kami belum bisa diajak untuk berkompromi agar bisa terpejam di pukul 9
malam, kami memutuskan mencarikafe terdekat untuk menikmati malam di Labuan
Bajo. Kafe terdekat sekitar 100 meter
dari hotel, kami memilih kafe tersebut sesuai rekomendasi teman yang pernah ke Labuan
Bajo. View kafe tersebut lumayan keren, tak ada pengunjung, bebas memilih mau
duduk dimana. Lagi-lagi kopi Flores menjadi pilihan kami. 3 kali dalam sehari,
kopi Floresnya. Tetapi sayang kafenya hanya beroperasi sampai pukul 11.00
malam, jadi mau tidak mau, kami harus angkat kaki sebelum pukul 11.00 malam. Kami
kembali ke hotel untuk betul-betul istirahat agar besok kembali fit untuk
memulai petualangan kami yang sesungguhnya.
Malam di Labuan Bajo, Yang Tengah memakai syal baru. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar