Kali ini saya kembali menuis, tetapi bukan
tentang jalan-jalan, ataupun cerpen dan juga bukan puisi, melainkan tentang
kuliner. Kuliner atau makanan merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dari
kehidupan manusia. Tanpa makanan manusia tidak bisa hidup, karena dari makananlah
kita memperoleh asupan gizi, vitamin dan zat-zat lainnya yang menjadi penyokong
dalam keberlangsungan hidup kita.
Itik, bahan dasar nasu itik palekko |
Hari ini saya sudah bangun pagi-pagi,
sesuai dengan janjian saya dengan Sahar yang akan menjemput saya. Matahari kota
Makassar tidak kelihatan masih tertutup awan tebal. Gerimis mulai turun saat
Sahar datang menjemput saya. Yakin pintu sudah tertutup rapat, saya langsung
naik di boncengan motor Sahar. Sahar mengarahkan motornya ke arah timur menuju
Daya. Kami singgah di pasar tradisional di
perempatan lampu merah Daya. Kios yang paling pertama kami sambangi adalah kios
penjual unggas potong. Penjaga kios menghampiri kami menanyakan kami mencari
apa. Kami sudah berdiri di depan kandang yang di dalamnya bercampur antara itik
dan bebek. Kami menanyakan harga itik tersebut. Harganya Rp.55.000 satu ekor. Karena
kami lumayan sering membeli itik disini jadi kami tawar dengan harga Rp.50.000
dan penjaganya mengiyakan. Harga tersebut sudah termasuk dengan ongkos
pemotongannya, pencabut bulunya. Jadi kami sisa terima beres dan itik sudah
siap di masak. Kami di suruh memilih yang mana yang kami suka, tetapi kami
menyerahkan kepada penjaganya yang penting itiknya jantan dan masih muda. Itik yang
jantan lebih enak daripada itik betina, dan itik yang masih muda itu dagingnya
tidak keras dan alot sehingga tidak menyusahkan saat dimakan. Penjaga kios
memilih satu ekor lalu menunjukkan ke kami dan kami menyetujuinya. Kami menginformasikan
supaya daging itiknya dipotong kecil-kecil atau dicincang.
bumbu-bumbu yang dihaluskan |
Supaya waktu bisa diefisienkan, saya
mengajak Sahar menuju kios penjual bumbu dapur yang tidak jauh dari kios
penjual unggas potong. Di pasar ini ada banyak penjual, sisa memilih yang mana
yang menurut anda dagangannya masih segar. Kami memilih salah satu kios yang
menurut kami cabai rawitnya lumayan merah dan mengkilap. Kami memutuskan untuk
membeli bumbu di kios ini karena ibu penjualnya ramah. Cabai rawit yang ditakar
dengan tempat eskrim kecil seharga Rp.3.000. Bawang merah ¼ liter dengan harga
Rp.5.000 dan bawang putih Rp.1.000.
Serai 2 batang Rp.1.000, biasanya dijual Rp.2.000 per ikat, tetapi karena kami
tidak butuh banyak jadinya kami menawarnya dan boleh dibeli 2 batang saja.
Lengkuas 2 ruas, Rp.1.000, sama dengan serai, kami juga menawarnya meminta
sepotong saja, karena kalau kami membeli yang besar takutnya mubazir dan tidak
terpakai semua. Dengan uang Rp.11.000 kami bisa mendapatkan semua bumbu yang
kami butuhkan, dan tentunya masih segar. Hal inilah yang membuat kami lebih
suka berbelanja di pasar tradisional. Harga murah, bisa menawar, banyak
pilihan, dagangan yang masih segar, itulah keuntungan berbelanja di pasar
tradisional. Selain itu kami juga bisa membantu keberlangsungan usaha para
pedagang tradisional sehingga pedagang tersebut bisa terus mengembangkan
usahanya.
Bumbu-bumbu yang dimemarkan |
Semua bumbu yang kami butuhkan sudah kami
dapatkan. Waktunya kembali ke kios penjual unggas potong. Pesanan kami masih
dikerjakan saat kami tiba dikios tersebut, sehingga kami mesti menunggu. Kios ini
lumayan ramai pelanggan sehingga pengerjaan pesanan harus antri. 15 menit
kemudian penjaga kios yang tadi melayani kami datang menghampiri lalu menyerahkan
pesanan kami. Sahar mengambil kantongan hitam tersebut kemudian membayarnya. Setelah
mengucapkan terima kasih kepada penjaga kios tersebut kami meninggalkan kios
tersebut menuju ke tempat parkiran motor.
Bumbu penyedap |
Kami berdua menuju ke rumah Sahar di BTP
untuk mengolah bahan-bahan yang kami beli tadi. Kuliner yang akan kami buat
adalah NASU ITIK PALEKKO. Nasu itik Palekko merupakan makanan tradisional
masyarakat Bugis dengan bahan dasar daging itik dengan rasa yang lumayan pedis.
Bahan dasarnya bisa diganti, bisa ayam ataupun bebek, terserah kesukaan atau
pilihan kita. Tetapi kebanyakan menggunakan daging itik. mungkin dikarenakan
daging itik mengandung minyak khusus sehingga menjadikan masakan lebih lezat
dan enak. Sesampainya di rumah Sahar saya langsung menuju dapur bersiap
mengolah semua bahan tersebut.
Nasu Itik Palekko yang sudah jadi |
Pertama-tama bersihkan daging itik
tersebut, karena biasanya ada bulu-bulu kecil yang tersisa, dan biasanya juga potongannya
masih terlalu besar sehingga masih harus dipotong supaya ukurannya lebih kecil
lagi. Jika daging sudah bersih masak menggunakan wajan dengan air secukupnya. Bersihkan
lengkuas dan serai, kemudian lengkuas yang sudah bersih diiris tipis lalu dimemarkan
bersama batang serai tersebut, kemudian memasukkan kedalam daging yang dimasak
tadi. Selanjutnya kupas bawang merah dan bawang putih secukupnya sesuai selera,
saya memilih 15 siung bawang merah dan 7 siung bawang putih. Bawang merah dan
bawang putih yang sudah dibersihkan kemudian ditumbuk halus menggunakan ulekan
tradisional. Bisa juga di blender jika memiliki blender. Menurut Sahar lebih
enak jika diulek, tekstur bawangnya masih terasa, berbeda jika diblender
semuanya menjadi bubur dan halus menjadi satu. Tetapi bukankah memang kami
tidak memiliki blender, jadi otomatis harus diulek. Hahahaha. Jika sudah halus,
kini tiba giliran cabai rawit diulek, ulek sampai halus. Mengenai jumlahnya
tergantung selera apakah suka pedis atau tidak. Bumbu yang sudah dihaluskan
kemudian dimasukkan kedalam masakan tadi. Agar bumbu merata maka harus diaduk. Garam
halus, gula pasir, dan penyedap rasa kemudian dimasukkan sambil diaduk supaya
merata. 30 menit sudah berlalu, daging itiknya sudah mulai empuk dan air
masakan sudah hampir mengering. Saya mencoba mengicipnya, karena yang akan
memakan masakan ini adalah saya dan Sahar, sehingga saya memutuskan mengajak
Sahar untuk mengicipnya. Menurut Sahar rasanya sudah mantap, sisa rasa asinnya
yang kurang sedikit. Setelah membubuhkan sedikit garam saya aduk hingga airnya
betul-betul mengering. Tidak perlu khawatir karena daging itik mengandung
minyak khusus sehingga jika dibiarkan 2-3 menit tidak bakalan hangus asalkan
apinya tidak kebesaran.
Nasu Itik Palekko siap disantap bersama nasi hangat |
Nasu itik Palekko sudah masak, nasi putih
pun sudah masak, saatnya menyantap hasil masakan saya. Saya dan Sahar langsung
menikmati masakan tersebut. Sahar tidak henti-hentinya memuji masakan saya. Saya
bercanda minta di bayar, karena masakan saya enak. Kami tertawa bersamaan
sambil menikmati nasi putih yang mengepul dan nasu itik palekko yang membuat
lidah kami bergoyang dangdut kepedisan. Tak lupa kami menyediakan piring kecil kosong tempat meletakkan tulang-tulang bekas makanan kami. 40 biji cabai rawit cukup membuat kami
butuh air minum ekstra setelah makan. Alhamdulillah kami kenyang dan masih
tersisa ½ lagi nasu itik palekko tersebut. Masih bisa untuk makan malam kami. Ngomong-ngomong memakan Nasu itik palekko lebih enak dan lezat jika makannya pakai tangan.
Nasu Itik Palekko namanya diambil dari
bahasa Bugis, Nasu yang berarti masak, sedangkan Palekko adalah sejenis penutup
wajan yang terbuat dari tanah liat, dan Itik adalah bahan dasar untuk membuat
nasu itik Palekko. Nasu Itik palekko di kalangan anak muda Bugis biasa
disingkat menjadi NSP. Jadi jangan heran jika mereka bilang “ingin rasanya
makan NSP”.
Bahan-bahan yang menjadikan itik tadi menjadi lebih enak dan lezat |
Bahan-bahan untuk membuat Nasu Itik Palekko
“NSP”
Bahan Utama :Itik,
utamakan yang jantan dan masih muda
Bahan yang dihaluskan :Cabai
Rawit, Bawang Merah dan Bawang Putih
Bahan yang dimemarkan :Lengkuas
dan Serai
Bahan penyedap :Garam,
Penyedap rasa, dan Gula
Air secukupnya
Achyie Sabang. Sampai jumpa pada experimen
resep selanjutnya