Lelah masih tergurat di wajah-wajah kami saat memasuki Kota Jeneponto, selain karena ngantuk juga karena lapar. Sudah setengah hari kami menikmati aam Jeneponto. Kami memutuskan untuk mencari tempat makan yang terdekat. Kami memilih sebuah warung jawa karena tergiur dengan menu yang ditawarkan di depan warungnya. Kami berlima langsung masuk dan memesan makanan sesuai selera kami. Harga menunya hampir rata,Rp.13.000. 3 Nasi Goreng, 1 Mie Pangsit dan 1 Mie Goreng semuanya hanya Rp 65.000. Tak berselang berapa lama, menu pesanan kami langsung datang, kami menyantap dengan lahap. Perkara enak atau tidak enak itu urusan belakangan, yang jelas lambung terisi dulu. Sekitar 30 menit di warung Jawa tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk cabut menuju ke lokasi yang akan kami tuju.
Waktu masih menunjukkan pukul 2 siang saat kami meninggalkan warung Jawa tersebut. Dan kini terjadi pergantian sopir, Icha yang menggantikan Wawan untuk mengemudikan mobil. Kami memutuskan untuk singgah sejenak beristirahat di emperan Mesjid Agung Kabupaten Jeneponto untuk menuntaskan lelah yang masih tersisa. Emperan mesjidnya lumayan bersih sehingga bisalah untuk beristirahat sejenak. Saya, Andang dan Wawan langsung merebahkan diri di emperan tersebut, disamping beberapa orang yang juga rebahan. Angin sepoi-sepoi yang berhembus seakan-akan membuai kami bertiga untuk tertidur sejenak, sementara Icha dan Debie lebih memilih untuk istirahat di dalam mobil. Kira-kira sejam lebih kami istirahat dan kondisi kami lumayanlah dibanding sebelumnya, sehingga kami memutuskan untuk beranjak dari emperan mesjid ini. Kembali Wawan yang mengemudikan mobil, karena kondisinya sudah lumayan fit. Untuk tiba di lokasi yang akan kami tuju, kami memutuskan untuk menggunakan google map, meskipun kadang arahannya tidak sesuai. Daripada nyasar, mending singgah bertanya pada warga sekitar. Bermodalkan senyum manis, saya langsung menyapa beberapa orang yang sedang asyik bercerita di pinggir jalan sambil memandikan kuda mereka. Mereka mengarahkan kami untuk masuk melalui Lorong Bisoli, karena jika melewati lorong ini, agak jauh dan jalanan jelek. Dengan ucapan terima kasih dan senyuman manis, kami pamit dan langsung cabut menuju ke lokasi yang akan kami tuju.
Dengan bantuan google map, kami bisa menemukan Lorong Bisoli, sesuai arahan warga tadi, kami langsung masuk lorong tersebut, sekitar 100 hingga 200 meter, rumah-rumah masih agak ramai dipinggir jalan, tetapi semakin masuk dan semakin masuk kondisi menjadi semakin sepi. Bahkan untuk menemukan orang yang bisa kami tempati untuk bertanya sangat susah. Jalanan pun semakin rusak, dan tentunya semakin sepi pula karena melewati hutan jati. Di tengah jalan kami bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang baru pulang dari menggembalakan sapinya. Kami langsung meminggirkan mobil, dengan maksud untuk bertanya, tetapi raut wajah remaja tersebut langsung berubah menjadi ketakutan. Dengan senyum manis saya langsung bertanya pada dia, dan dia menjawabnya dengan menggunakan bahasa Makassar yang sebagian besar saya tidak mengerti, kecuali kiri dan kanan yang saya tahu. Kami berlima hanya langsung tertawa, mengingat informasi yang kami dapat semakin membuat kami menjadi tambah bingung. Kebingunagn kami akhirnya terpecahkan ketika kami menemukan simpang tiga ke arah kanan, setelah memelankan mobil dan membaca apa yang tertulis dibalik spanduk tersebut. Wawan langsung mengarahkan mobil bereblok kanan menyusuri lorong keil tersebut. Lorong tersebut hanya berupa jalanan tani, belum ada sentuhan aspal atau kerikilpun pada jalanan tersebut, hanya berupa tanah dan batu pengerasan alias jalan rintisan. Kami berlima hanya bisa bertanya-tanya dimanakah akhirnya kami harus berhenti. Jalan rintisan ini, terletak ditengah-tengah hutan jati yang lumayan rapat, sehingga agak gelap dan terkesan mistis. Ditengah-tengah kebingungan kami, kami melihat disekitaran ladang jagung milik warga ada dua minibus yang terparkir, saya langsung menunjuk mobil itu dan mengatakan kita sudah hampir sampai. Kami berlima turun saat mobil sudah terparkir sejajar dengan dua mobil tersebut. Seorang penjaga areal parkiran langsung menyambangi kami dan mengarahkan serta menujukkan kami jalan untuk ke tempat yang kami tuju.
Lokasi yang kami tuju adalah sebuah spot yang baru dibuka untuk umum pada bulan Juli kemarin. Yakni sebuah kawasan batu karst yang bernama Batu Pondo, atau warga lokal menyebutnya dengan nama Batu Siping. Spot ini agak mirip dengan Rammang-Rammang yang ada di Kabupaten Maros. Tetapi pembedanya adalah, Rammang-Rammang berlatar gunung dan areal persawahan, sedangkan Batu Siping berlatar tambak ikan dan daerah pesisir. Untuk sampai pada spot Batu siping, dari parkiran kami harus berjalan kaki kira-kira sekitar 300 meter, melewati pematang ladang jagung warga dan pematang tambak ikan. Awalnya kami mengira bahwa di dalam pasti sepi, karena hanya ada dua mobil yang terparkir, tetapi melewati ladang jagung, ternyata disini ada lahan kosong yang dijadikan areal parkir motor, dan ada puluhan lebih motor yang terparkir. Kami berlima menyusuri pematang empang, dan hanya berelang beberapa menit penampakan Batu Siping sudah ada di depan mata, kami mempercepat serta memanjangkan langkah kami agar bsa cepat sampai di lokasi sekitar Batu Siping. Batu Siping ini agak mirip batu-batuan karang yang terbentuk mungkin dalam ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya melalui proses alam. Maha Besar Tuhan Sang Pemilik Semesta. Kami hanya bisa berdiri sejenak sambil melongo menyaksikan keindahan yang disuguhkan oleh alam melalui Batu Siping ini. Batu-batu nya rata-rata berukuran besar, dan terleta ditengah-tengah empang. Luas kawasan ini mungkin sekitar beberapa hektar, kami tak tahu pasti karena kami tak menjelajahi semuanya.
Sambil menikmati pemandangan dan keindahan alam ini, tak lupa kami juga mengambil beberapa gambar, bahkan kadang harus bertingkah konyol untuk mengambil sebuah gambar. Ada spot yang kami tempati berfoto, yang memaksa saya dan Icha untuk turun ke dalam empang dengan lumpur setinggi betis agar bisa sampai pada spot yang kami inginkan. tetapi kami baru menyadari bahwa sebenarnya ada cara untuk sampai ke tempat Icha duduk tanpa harus turun berlumpur-lumpur ria. Alhasil kamipun berlima tertawa terbahak-bahak menertawakan kekonyolan kami. Seperti kata-kata yang banyak beredar di sosial media, bahwa dibalik foto yang keren ada fotografer yang tersiksa, nah disini yang berlaku adalah, dibalik pose yang keren ada cerita konyol dan terkesan bodoh. Tetapi yah itulah yang menjadikan trip kami lebih berkesan dan meninggalkan kisah lucu, yang mungkin kelak akan kami ceritakan kepada generasi kami selanjutnya. Sampai perut kami menjadi sakit gara-gara kebanyakan tertawa. Puas menertawakan kekkonyolan kami, kami memutuskan untuk beranjak ke spot yang lain. Kami memilih spot yang berupa batu lebar yang terletak ditengah-tengah empang untuk berfoto-foto sambil menunggu sunset.
Batu Siping terletak di Desa Garassikang, Kecamatan Bangkala Barat, Kabupaten Jeneponto. Berjarak sekitar kurang lebih 7 KM dari poros Takalar Jeneponto, terletak di sebelah Barat ibukota Jeneponto atau sekitar satu jam lebih perjalanan dari Kota Jeneponto. Sedangkan jika dari Kota Makassar mungkin hanya butuh waktu sekitar dua jam setengah. dengan kondisi jalan yang lumayan bisa membuat orang hamil lahiran prematur jika sudah masuk di Lorong Bisoli. Tetapi apaun itu kami tetap puas, kami tetap senang, kami tetap bahagia. Rasa penasaran kami sudah terjawab dan Tuntas.
Puas menikmati atraksi matahari terbenam, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Makassar. Kami bahagia, kami senang, kami cinta Indonesia dan bangga terlahir sebagai orang Indonesia. Indonesia itu Kaya tempat keren, ngapain susah dan repot keluar negeri.
Terima Kasih Tuhan,
Terima Kasih Jeneponto,
Terima Kasih Batu Siping,
Terima Kasih Indonesiaku,
Terima Kasih Orang Tuaku, dan
Terima Kasih Wawan, Icha, Debie dan Andang
Sampai jumpa pada tulisan berikutnya
Achyie Sabang
September 2016