Sumba, tanah eksotis di Selatan
Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Apasih yang tidak menarik untuk
diceritakan tentang tanah Sumba? Dari kawanan kuda liar yang berkeliaran di
padang savanna hingga pantai-pantai eksotis yang menimbulkan decak kagum bagi
siapapun yang berkunjung ke tanah Marapu ini. Namun untuk tulisan ini bukan
cerita tentang bukit yang padang savannanya didiami oleh gerombolan kuda liar
ataupun tentang pantai eksotis bahkan bukan juga tentang air terjunnya yang
mempesona. Melainkan cerita tentang perkampungan adat yang ada di Tanah Sumba.
Yap, Betul. Perkampungan adat Ratenggaro dan Perkampungan adat Prai Ijing.
- RATENGGARO
Perkampungan adat Ratenggaro,
terletak di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Berjarak kurang lebih 40 Kilometer dari pusat kota Kabupaten Sumba Barat Daya,
Tambolaka, atau meemakan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit, dengan
kondisi jalan yang lumayan bagus. Akses menuju ke perkampungan adat Ratenggaro,
sudah bisa dikatakan gampang, karena sekarang sudah terdapat angkutan umum
berupa bus yang melayani rute dari Kota Tambolaka menuju ke Kampung Ratenggaro.
Jadi selain menggunakan angkutan pribadi, Ratenggaro bisa diakses dengan
menggunakan angkutan umum yang biayanya lebih terjangkau.
Kesan magis dan mistis akan terasa
ketika sudah dekat dengan perkampungan utama di Kampung Adat Ratenggaro.
Bagaimana tidak, untuk sampai di kampung utama, pengunjung harus melewati lahan
pekuburan batu tua yang meyerupai menhir dengan bentuk seperti meja yang lebar.
Jumlah kuburan tersebut berkisar ratusan dan mengapit jalan yang harus dilalui
untu sampai di perkampungan. Sebagian dari kuburan tersebut merupakan kuburan
leluhur dari masyarakat sekitar. Adanya hiasan berupa ukiran-ukiran binatang
khas Sumba seperti ayam, buaya, dan kuda semakin memperkuat aura magis yang
menyelimuti kuburan ini. Adapun besar kecilnya ukuran kuburan melambangkan
strata sosial, begitupula dengan jenis ukiran hiasan kuburannya. Setelah
melewati kuburan batu, barulah tiba di perkampungan utama.
Perkampungan utama terletak tepat di
pesisir pantai. Terdiri dari beberapa rumah panggung dengan ciri khas atap yang
menjulang menyerupai menara berbentuk limas segi empat. Tingginya bisa mencapai 15 meter atau lebih
dengan bahan atap terbuat dari ilalang yang dikeringkan, sedangkan bahan rumah
terbuat dari kayu dan bambu. Ketinggian atap menara yang bervariasi perlambang
status sosial sang penghuni di lingkungannya. Semakin tinggi atap menaranya
maka semakin tinggi pula strata sosial mereka. Kolong rumah dijadikan sebagai
tempat untuk hewan ternak, semisal babi dan ayam, selanjutnya lantai utama
didadikan sebagai tempat tinggal dan aktivitas sebagaimana rumah pada umumnya,
sedangkan lantai di atasnya dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang
berharga.
Masyarakat ratenggaro pada umumnya
masih menganut kepercayaan leluhur tanah Sumba, yakni kepercayaan Marapu.
Kepercayaan tentang pemujaan kepada leluhur dan nenek moyang. Sehingga
merupakan hal lazim ketika berkunjung ke Ratenggaro dan menemukan fakta bahwa
posisi perkampungan dan posisi pekuburan leluhur berdampingan. Bahkan beberapa
rumah, di halaman belakangnya terdapat kuburan tua yang bergungsi sebagai
tempat pemujaan leluhur. Laki-laki dewasa Ratenggaro selain
sebagai petani, juga ada yang berprofesi nelayan. Waktu senggang mereka
habiskan dengan menggembala ternak seperti babi dan kuda. Sedangkan ibu-ibu dan
remaja putri biasanya menghabiskan waktu untuk menenun kain khas Sumba.
- PRAI IJING / PRAIJING
Prai Ijing terbagi menjadi dua bagian yaitu Prai Ijing bagian bawah dan praijing bagian atas. Dari Prai Ijing atas, Nampak Prai Ijing bagian bawah dengan latar persawahan yang membentang dan nun jauh kelihatan bukit-bukit khas sumbah yang berdirih kokoh. Hal yang paling mencolok dari perkampungan Prai Ijing adalah desain rumah yang unik. Desain rumah yang hampir sama dengan rumah-rumah yang ada di Ratenggaro. Beratapkan ilalang dengan konstruksi atap yang menjulang bak menara di balik rimbunnya pepohonan semakin menambah kesan eksotis perkampungan ini. Warna coklat dari atap yang terbuat dari ilalang kering bersanding dengan hijaunya dedaunan dari pohon yang rimbun memberikan efek kontras yang membuat siapapun akan betah memandangnya. Dari beberapa rumah tradisional yang berejer, terdapat dua macam jenis atap, ada yang atapnya biasa saja tidak bermenara dan adapula yang bermenara. Mungkin perbedaannya terletak pada fungsinya. Secara masyarakat Prai Ijing masih menganut kepercayaan leluhur, Marapu. Di Prai Ijing atas, yang terdiri dari beberapa rumah yang bisa dihitung jari, pengunjung bisa mnyaksikan makam-makam leluhur yang posisinya pas berada di halaman rumah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pada saat prosesi ritualan Marapu.
Berkunjung ke Prai Ijing pada saat
sore hari adalah alternative terbaik, karena warga sudah pulang dari lading
atau sawah, sehingga pengunjung bisa berinteraksi dengan warga setempat. Ketika
berkunjung pada saat musim panen usai, biasanya jalanan yang terletak di depan
rumah-rumah warga dijadikan sebagai tempat menjemur padi. Di sarankan untuk
membawa bekal, karena di Prai Ijing belum ada warung yang menyediakan makanan
bagi pengunjung.
Sama halnya dengan di Ratenggaro,
waktu senggang warga digunakan untuk menggembala ternak babi, dan ibu-ibu
selain mengurus rumah tangga juga menghabiskan waktunya menenun kain.
Kain bagi masyarakat Sumba sangat erat kaitannya, bahkan bisa dikatakan bahwa kain adalah segalanya bagi masyarakat Sumba. Selain untuk kepentingan ritual Marapu, pakaian sehari-hari, kain juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan. Harga kain Sumba yang asli memang sangat fantastis, paling murah sekitaran 700.000 ribu rupiah, yang lebih mahal banyak, bahkan yang berharga puluhan juta ada. Wajar saja harganya segitu, karena pengerjaannya murni diekrjakan menggunakan dengan kedua tangan. Bahan-bahan pun yang digunakan alami dari alam. Benang dari kulit kayu, pewarna dari bahan yang telah alam siapkan seperti buah-buahan tertentu, akar tanaman, tanah, dan lain sebagainya.
Kain bagi masyarakat Sumba sangat erat kaitannya, bahkan bisa dikatakan bahwa kain adalah segalanya bagi masyarakat Sumba. Selain untuk kepentingan ritual Marapu, pakaian sehari-hari, kain juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan. Harga kain Sumba yang asli memang sangat fantastis, paling murah sekitaran 700.000 ribu rupiah, yang lebih mahal banyak, bahkan yang berharga puluhan juta ada. Wajar saja harganya segitu, karena pengerjaannya murni diekrjakan menggunakan dengan kedua tangan. Bahan-bahan pun yang digunakan alami dari alam. Benang dari kulit kayu, pewarna dari bahan yang telah alam siapkan seperti buah-buahan tertentu, akar tanaman, tanah, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar