Minggu, 13 Oktober 2019

Ratenggaro dan Prai Ijing, Kampung Adat Yang Membuat Betah Berlama-lama di Tanah Sumba


Sumba, tanah eksotis di Selatan Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Apasih yang tidak menarik untuk diceritakan tentang tanah Sumba? Dari kawanan kuda liar yang berkeliaran di padang savanna hingga pantai-pantai eksotis yang menimbulkan decak kagum bagi siapapun yang berkunjung ke tanah Marapu ini. Namun untuk tulisan ini bukan cerita tentang bukit yang padang savannanya didiami oleh gerombolan kuda liar ataupun tentang pantai eksotis bahkan bukan juga tentang air terjunnya yang mempesona. Melainkan cerita tentang perkampungan adat yang ada di Tanah Sumba. Yap, Betul. Perkampungan adat Ratenggaro dan Perkampungan adat Prai Ijing.


  • RATENGGARO

Perkampungan adat Ratenggaro, terletak di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Berjarak kurang lebih 40 Kilometer dari pusat kota Kabupaten Sumba Barat Daya, Tambolaka, atau meemakan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit, dengan kondisi jalan yang lumayan bagus. Akses menuju ke perkampungan adat Ratenggaro, sudah bisa dikatakan gampang, karena sekarang sudah terdapat angkutan umum berupa bus yang melayani rute dari Kota Tambolaka menuju ke Kampung Ratenggaro. Jadi selain menggunakan angkutan pribadi, Ratenggaro bisa diakses dengan menggunakan angkutan umum yang biayanya lebih terjangkau.
Kesan magis dan mistis akan terasa ketika sudah dekat dengan perkampungan utama di Kampung Adat Ratenggaro. Bagaimana tidak, untuk sampai di kampung utama, pengunjung harus melewati lahan pekuburan batu tua yang meyerupai menhir dengan bentuk seperti meja yang lebar. Jumlah kuburan tersebut berkisar ratusan dan mengapit jalan yang harus dilalui untu sampai di perkampungan. Sebagian dari kuburan tersebut merupakan kuburan leluhur dari masyarakat sekitar. Adanya hiasan berupa ukiran-ukiran binatang khas Sumba seperti ayam, buaya, dan kuda semakin memperkuat aura magis yang menyelimuti kuburan ini. Adapun besar kecilnya ukuran kuburan melambangkan strata sosial, begitupula dengan jenis ukiran hiasan kuburannya. Setelah melewati kuburan batu, barulah tiba di perkampungan utama.
Perkampungan utama terletak tepat di pesisir pantai. Terdiri dari beberapa rumah panggung dengan ciri khas atap yang menjulang menyerupai menara berbentuk limas segi empat.  Tingginya bisa mencapai 15 meter atau lebih dengan bahan atap terbuat dari ilalang yang dikeringkan, sedangkan bahan rumah terbuat dari kayu dan bambu. Ketinggian atap menara yang bervariasi perlambang status sosial sang penghuni di lingkungannya. Semakin tinggi atap menaranya maka semakin tinggi pula strata sosial mereka. Kolong rumah dijadikan sebagai tempat untuk hewan ternak, semisal babi dan ayam, selanjutnya lantai utama didadikan sebagai tempat tinggal dan aktivitas sebagaimana rumah pada umumnya, sedangkan lantai di atasnya dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga.
Masyarakat ratenggaro pada umumnya masih menganut kepercayaan leluhur tanah Sumba, yakni kepercayaan Marapu. Kepercayaan tentang pemujaan kepada leluhur dan nenek moyang. Sehingga merupakan hal lazim ketika berkunjung ke Ratenggaro dan menemukan fakta bahwa posisi perkampungan dan posisi pekuburan leluhur berdampingan. Bahkan beberapa rumah, di halaman belakangnya terdapat kuburan tua yang bergungsi sebagai tempat pemujaan leluhur. Laki-laki dewasa Ratenggaro selain sebagai petani, juga ada yang berprofesi nelayan. Waktu senggang mereka habiskan dengan menggembala ternak seperti babi dan kuda. Sedangkan ibu-ibu dan remaja putri biasanya menghabiskan waktu untuk menenun kain khas Sumba.


  • PRAI IJING / PRAIJING

Tidak jauh dari pusat kota Waikabubak, hanya berjarak sekitar 3 kilometer, tepatnya di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ya. Prai Ijing. Walaupun tergolong sangat dekat dengan ibukota kabupaten, tetapi akses ke Prai Ijing masih sulit. Meskipun kondisi jalan sudah beraspal dan sangat baik, tetapi angkutan umum untuk ke Prai Ijing belum ada, sehingga masih sulit untuk diakses. Jadi jika hendak ke Prai Ijing mesti menyewa atau mencarter kendaraan. 

 Prai Ijing terbagi menjadi dua bagian yaitu Prai Ijing bagian bawah dan praijing bagian atas. Dari Prai Ijing atas, Nampak Prai Ijing bagian bawah dengan latar persawahan yang membentang dan nun jauh kelihatan bukit-bukit khas sumbah yang berdirih kokoh. Hal yang paling mencolok dari perkampungan Prai Ijing adalah desain rumah yang unik. Desain rumah yang hampir sama dengan rumah-rumah yang ada di Ratenggaro. Beratapkan ilalang dengan konstruksi atap yang menjulang bak menara di balik rimbunnya pepohonan semakin menambah kesan eksotis perkampungan ini. Warna coklat dari atap yang terbuat dari ilalang kering bersanding dengan hijaunya dedaunan dari pohon yang rimbun memberikan efek kontras yang membuat siapapun akan betah memandangnya. Dari beberapa rumah tradisional yang berejer, terdapat dua macam jenis atap, ada yang atapnya biasa saja tidak bermenara dan adapula yang bermenara. Mungkin perbedaannya terletak pada fungsinya. Secara masyarakat Prai Ijing masih menganut kepercayaan leluhur, Marapu. Di Prai Ijing atas, yang terdiri dari beberapa rumah yang bisa dihitung jari, pengunjung bisa mnyaksikan makam-makam leluhur yang posisinya pas berada di halaman rumah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pada saat prosesi ritualan Marapu.
Berkunjung ke Prai Ijing pada saat sore hari adalah alternative terbaik, karena warga sudah pulang dari lading atau sawah, sehingga pengunjung bisa berinteraksi dengan warga setempat. Ketika berkunjung pada saat musim panen usai, biasanya jalanan yang terletak di depan rumah-rumah warga dijadikan sebagai tempat menjemur padi. Di sarankan untuk membawa bekal, karena di Prai Ijing belum ada warung yang menyediakan makanan bagi pengunjung.
Sama halnya dengan di Ratenggaro, waktu senggang warga digunakan untuk menggembala ternak babi, dan ibu-ibu selain mengurus rumah tangga juga menghabiskan waktunya menenun kain.
Kain bagi masyarakat Sumba sangat erat kaitannya, bahkan bisa dikatakan bahwa kain adalah segalanya bagi masyarakat Sumba. Selain untuk kepentingan ritual Marapu, pakaian sehari-hari, kain juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan. Harga kain Sumba yang asli memang sangat fantastis, paling murah sekitaran 700.000 ribu rupiah, yang lebih mahal banyak, bahkan yang berharga puluhan juta ada. Wajar saja harganya segitu, karena pengerjaannya murni diekrjakan menggunakan dengan kedua tangan. Bahan-bahan pun yang digunakan alami dari alam. Benang dari kulit kayu, pewarna dari bahan yang telah alam siapkan seperti buah-buahan tertentu, akar tanaman, tanah, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar