Minggu, 04 September 2016

Batu Siping Jeneponto, Karena Jeneponto Bukan Hanya Tentang Garam Dan Gantala Jarang

          Lelah masih tergurat di wajah-wajah kami saat memasuki Kota Jeneponto, selain karena ngantuk juga karena lapar. Sudah setengah hari kami menikmati aam Jeneponto. Kami memutuskan untuk mencari tempat makan yang terdekat. Kami memilih sebuah warung jawa karena tergiur dengan menu yang ditawarkan di depan warungnya. Kami berlima langsung masuk dan memesan makanan sesuai selera kami. Harga menunya hampir rata,Rp.13.000. 3 Nasi Goreng, 1 Mie Pangsit dan 1 Mie Goreng semuanya hanya Rp 65.000. Tak berselang berapa lama, menu pesanan kami langsung datang, kami menyantap dengan lahap. Perkara enak atau tidak enak itu urusan belakangan, yang jelas lambung terisi dulu. Sekitar 30 menit di warung Jawa tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk cabut menuju ke lokasi yang akan kami tuju. 

          Waktu masih menunjukkan pukul 2 siang saat kami meninggalkan warung Jawa tersebut. Dan kini terjadi pergantian sopir, Icha yang menggantikan Wawan untuk mengemudikan mobil. Kami memutuskan untuk singgah sejenak beristirahat di emperan Mesjid Agung Kabupaten Jeneponto untuk menuntaskan lelah yang masih tersisa. Emperan mesjidnya lumayan bersih sehingga bisalah untuk beristirahat sejenak. Saya, Andang dan Wawan langsung merebahkan diri di emperan tersebut, disamping beberapa orang yang juga rebahan. Angin sepoi-sepoi yang berhembus seakan-akan membuai kami bertiga untuk tertidur sejenak, sementara Icha dan Debie lebih memilih untuk istirahat di dalam mobil. Kira-kira sejam lebih kami istirahat dan kondisi kami lumayanlah dibanding sebelumnya, sehingga kami memutuskan untuk beranjak dari emperan mesjid ini. Kembali Wawan yang mengemudikan mobil, karena kondisinya sudah lumayan fit. Untuk tiba di lokasi yang akan kami tuju, kami memutuskan untuk menggunakan google map, meskipun kadang arahannya tidak sesuai. Daripada nyasar, mending singgah bertanya pada warga sekitar. Bermodalkan senyum manis, saya langsung menyapa beberapa orang yang sedang asyik bercerita di pinggir jalan sambil memandikan kuda mereka. Mereka mengarahkan kami untuk masuk melalui Lorong Bisoli, karena jika melewati lorong ini, agak jauh dan jalanan jelek. Dengan ucapan terima kasih dan senyuman manis, kami pamit dan langsung cabut menuju ke lokasi yang akan kami tuju.
     Dengan bantuan google map, kami bisa menemukan Lorong Bisoli, sesuai arahan warga tadi, kami langsung masuk lorong tersebut, sekitar 100 hingga 200 meter, rumah-rumah masih agak ramai dipinggir jalan, tetapi semakin masuk dan semakin masuk kondisi menjadi semakin sepi. Bahkan untuk menemukan orang yang bisa kami tempati untuk bertanya sangat susah. Jalanan pun semakin rusak, dan tentunya semakin sepi pula karena melewati hutan jati. Di tengah jalan kami bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang baru pulang dari menggembalakan sapinya. Kami langsung meminggirkan mobil, dengan maksud untuk bertanya, tetapi raut wajah remaja tersebut langsung berubah menjadi ketakutan. Dengan senyum manis saya langsung bertanya pada dia, dan dia menjawabnya dengan menggunakan bahasa Makassar yang sebagian besar saya tidak mengerti, kecuali kiri dan kanan yang saya tahu. Kami berlima hanya langsung tertawa, mengingat informasi yang kami dapat semakin membuat kami menjadi tambah bingung. Kebingunagn kami akhirnya terpecahkan ketika kami menemukan simpang tiga ke arah kanan, setelah memelankan mobil dan membaca apa yang tertulis dibalik spanduk tersebut. Wawan langsung mengarahkan mobil bereblok kanan menyusuri lorong keil tersebut. Lorong tersebut hanya berupa jalanan tani, belum ada sentuhan aspal atau kerikilpun pada jalanan tersebut, hanya berupa tanah dan batu pengerasan alias jalan rintisan. Kami berlima hanya bisa bertanya-tanya dimanakah akhirnya kami harus berhenti. Jalan rintisan ini, terletak ditengah-tengah hutan jati yang lumayan rapat, sehingga agak gelap dan terkesan mistis. Ditengah-tengah kebingungan kami, kami melihat disekitaran ladang jagung milik warga ada dua minibus yang terparkir, saya langsung menunjuk mobil itu dan mengatakan kita sudah hampir sampai. Kami berlima turun saat mobil sudah terparkir sejajar dengan dua mobil tersebut. Seorang penjaga areal parkiran langsung menyambangi kami dan mengarahkan  serta menujukkan kami jalan untuk ke tempat yang kami tuju.


          Lokasi yang kami tuju adalah sebuah spot yang baru dibuka untuk umum pada bulan Juli kemarin. Yakni sebuah kawasan batu karst yang bernama Batu Pondo, atau warga lokal menyebutnya dengan nama Batu Siping. Spot ini agak mirip dengan Rammang-Rammang yang ada di Kabupaten Maros. Tetapi pembedanya adalah, Rammang-Rammang berlatar gunung dan areal persawahan, sedangkan Batu Siping berlatar tambak ikan dan daerah pesisir. Untuk sampai pada spot Batu siping, dari parkiran kami harus berjalan kaki kira-kira sekitar 300 meter, melewati pematang ladang jagung warga dan pematang tambak ikan. Awalnya kami mengira bahwa di dalam pasti sepi, karena hanya ada dua mobil yang terparkir, tetapi melewati ladang jagung, ternyata disini ada lahan kosong yang dijadikan areal parkir motor, dan ada puluhan lebih motor yang terparkir. Kami berlima menyusuri pematang empang, dan hanya berelang beberapa menit penampakan Batu Siping sudah ada di depan mata, kami mempercepat serta memanjangkan langkah kami agar bsa cepat sampai di lokasi sekitar Batu Siping. Batu Siping ini agak mirip batu-batuan karang yang terbentuk mungkin dalam ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya melalui proses alam. Maha Besar Tuhan Sang Pemilik Semesta. Kami hanya bisa berdiri sejenak sambil melongo menyaksikan keindahan yang disuguhkan oleh alam melalui Batu Siping ini. Batu-batu nya rata-rata berukuran besar, dan terleta ditengah-tengah empang. Luas kawasan ini mungkin sekitar beberapa hektar, kami tak tahu pasti karena kami tak menjelajahi semuanya. 

          Sambil menikmati pemandangan dan keindahan alam ini, tak lupa kami juga mengambil beberapa gambar, bahkan kadang harus bertingkah konyol untuk mengambil sebuah gambar. Ada spot yang kami tempati berfoto, yang memaksa saya dan Icha untuk turun ke dalam empang dengan lumpur setinggi betis agar bisa sampai pada spot yang kami inginkan. tetapi kami baru menyadari bahwa sebenarnya ada cara untuk sampai ke tempat Icha duduk tanpa harus turun berlumpur-lumpur ria. Alhasil kamipun berlima tertawa terbahak-bahak menertawakan kekonyolan kami. Seperti kata-kata yang banyak beredar di sosial media, bahwa dibalik foto yang keren ada fotografer yang tersiksa, nah disini yang berlaku adalah, dibalik pose yang keren ada cerita konyol dan terkesan bodoh. Tetapi yah itulah yang menjadikan trip kami lebih berkesan dan meninggalkan kisah lucu, yang mungkin kelak akan kami ceritakan kepada generasi kami selanjutnya. Sampai perut kami menjadi sakit gara-gara kebanyakan tertawa. Puas menertawakan kekkonyolan kami, kami memutuskan untuk beranjak ke spot yang lain. Kami memilih spot yang berupa batu lebar yang terletak ditengah-tengah empang untuk berfoto-foto sambil menunggu sunset. 

          Batu Siping terletak di Desa Garassikang, Kecamatan Bangkala Barat, Kabupaten Jeneponto. Berjarak sekitar kurang lebih 7 KM dari poros Takalar Jeneponto, terletak di sebelah Barat ibukota Jeneponto atau sekitar satu jam lebih perjalanan dari Kota Jeneponto. Sedangkan jika dari Kota Makassar mungkin hanya butuh waktu sekitar dua jam setengah. dengan kondisi jalan yang lumayan bisa membuat orang hamil lahiran prematur jika sudah masuk di Lorong Bisoli. Tetapi apaun itu kami tetap puas, kami tetap senang, kami tetap bahagia. Rasa penasaran kami sudah terjawab dan Tuntas.

Puas menikmati atraksi matahari terbenam, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Makassar. Kami bahagia, kami senang, kami cinta Indonesia dan bangga terlahir sebagai orang Indonesia. Indonesia itu Kaya tempat keren, ngapain susah dan repot keluar negeri.

Terima Kasih Tuhan,
Terima Kasih Jeneponto,
Terima Kasih Batu Siping,
Terima Kasih Indonesiaku,
Terima Kasih Orang Tuaku,  dan
Terima Kasih Wawan, Icha, Debie dan Andang
Sampai jumpa pada tulisan berikutnya


Achyie Sabang
September 2016

Bukit Bossolo View Air Terjun Tama'lulua : Mimpi Yang Terwujud

Jeneponto, mungkin hampir semua orang yang bukan orang Sulawesi Selatan tidak tahu tempat ini, atau bahkan orang Sulawesi Selatan sendiri mungkin masih ada yang belum tahu Jeneponto. Jeneponto merupakan sebuah kabupaten di pesisir selatan Sulawesi Selatan yang menghadap langsung ke Laut Flores. Pusat pemerintahan Kabupaten Jeneponto terletak di Kota Jeneponto, dengan jarak tempuh sekitar dua jam dari Kota Makassar, atau sekitar 90 KM. Berbicara tentang Jeneponto, mindset orang kebanyakan dan termasuk juga saya sebelumnya, pasti tertuju dengan kondisi cuaca yang sangat gersang, coto kuda, gantala jarang dan garam. Tetapi untuk tulisan saya pada kesempatan ini saya akan menulis tentang review perjalanan saya ke Jeneponto. Dan ini adalah salah satu sisi lain Kabupaten Jeneponto yang banyak orang tidak tahu.
Entah nama tempatnya apa, tetapi viewnya keren sekali
Saya dan keempat teman saya, Nurfaisah Arsal, Kurniawan, Debie Natalia, dan Andang, menuju ke Kabupaten Jeneponto sesaat setelah mentari mulai bersinar di ufuk timur. Perjalanan menuju Kota Jeneponto yang harusnya hanya ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 jam, tetapi harus ditempuh dengan waktu kurang lebih 3 jam. Hal ini dikarenakan karena kami berangkat bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 71 alias pada tanggal 17 Agustus. Kendala pertama saat melewati Kabupaten Gowa, yaitu macet parah yang terjadi di Pasar Tumpah Panciro yang berhadapan langsung dengan Stadion Kalegowa. Aktivitas Pembeli dan Penjual yang menggunakan bahu jalan serta parkiran kendaraan para peserta upacar peringatan HUT Kemerdekaan RI di Stadion Kalegowa otomatis membuat laju kendaraan tersendat. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk lolos dari kemacetan ini, padahal semestinya biasanya hanya 5 menit. Kendala kedua saat kami melintas di Kota Takalar, meskipun tidak separah di Gowa tetapi lumayan macet juga di Depan Kantor Bupati Takalar, karena upacara HUT Kemerdekaan RI dipusatkan disini. Dan kendala ketiga saat kami memasuki kawasan Kota Jeneponto. Jalur Satu Arah Jalan Lanto Dg Pasewang ditutup untuk pengendara umum, hanya untuk pengendara yang akan mengikuti upacara, sehingga kami harus berputar-putar sebanyak dua kali untuk mencari arah menuju ke Kecamatan Rumbia. 
The Abalz
Dari Pusat Kota Jeneponto ke Kecamatan Rumbia berjarak sekitar 40 KM atau sekitar 1 jam perjalanan melalui Jalan Sungai Kelara. Sepanjang jalan kami disuguhkan oleh hiruk pikuk aktivitas warga khas pedesaan. sengaja saya menurunkan kaca mobil supaya dapat melihat secara langsung aktivitas mereka, tak jarang mereka yang kami temui ke kami, memberikan senyum hangat dan menyapa kami. Khas PEdesaan banget, Senyum Tulus tersungging dari bibir mereka mampu meneduhkan jiwa. Saya harus turun bertanya pada seorang warga ketika kami menemukan persimpangan, berkat arahannya perjalanan kami lanjutkan menuju ke Kecamatan Rumbia. Selanjutnya kami dibuat tercengang oleh pemandangan areal persawahan yang menghijau, ternyata Jeneponto tak segersang yang kami pikirkan. Belum habis kekaguman kami akan indahnya areal persawahan yang terletak di sebelah kiri jalan, kami langsung disuguhkan oleh pemandangan sebuah lembah yang dikelilingi oleh beberapa bukit. Lembah itu berupa areal persawahan yang tengah-tengahnya dibelah oleh aliran sungai, sungguh sangat indah, ibarat lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Kami tak tahan untuk singgah sejenak mengabadikan pemandangan ini. Sekali lagi, Jeneponto tak segersang yang kami pikirkan. 
Saatnya memilih, mau yang santai atau yang penuh tantangan
Puas berfoto kami melanjutkan perjalanan menuju ke tujuan utama kami, yaitu Bukit Bossolo Rumbia. Keramaian mulai tampak saat kami semakin dekat dengan Lapangan Kecamatan Rumbia. Sesuai dengan info yang diberikan oleh google hidup alias warga yang kami tempati untuk bertanya tadi, bahwa tujuan kami tidak jauh dari Lapangan Rumbia. Kami memutuskan untuk berhenti didepan sebuah kios untuk bertanya. Wawan harus memundurkan mobil, karena jalan masuk ke Bukit Bossolo terlewati sekitar 20 meter. Sekitar 200 meter masuk, kami tiba di pos penjagaan. Sebelum masuk kami diharuskan untuk membayar Rp. 5.000 per orang dan biaya parkir mobil Rp. 10.000. Lalu kami diarahkan untuk menuju ke spot Bukit Bossolo. Jalanan menuju parkiran lumayan membuat mobil agak mengeluh, dan untuk sampai diparkiran, harus melewati jalanan ini sepanjang 100 meter kira-kira. Tibalah kami diparkiran. Di sekitar parkiran terdapat papan penunjuk arah, untuk menuju ke Bukit Bossolo View Air Terjun Tamalulua kami harus berjalan mengikuti jalan pengerasan sejauh 450 meter, sedangkan untuk menuju Air Terjun Tamalulua kami harus menuruni jurang dan berjalan sekitar 750 meter. Karena trip ini adalah trip dadakan tanpa persiapan dan tak ingin mengambil resiko mengingat kondisi kami juga akhirnya kami memilih ke Bukit Bossolo saja. 
Bukit Bossolo dengan View lembah yang keren dan air terjun Tama'lulua
Jalan Pengerasan yang lebih mirip dengan jalan setapak tersebut diapit oleh jurang di sebelah kiri dan kebun ubi di sebelah kanan. Sekitar 10 menit kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak tersebut, akhirnya kami tiba di sebuah bukit yang agak lapang dengan latar tulisan "BOSSOLO". Dari tanah lapang ini kami bisa menikmati pemandangan yang sempurna, di depan sana terdapat lembah dan bukit yang dijadikan sebagai ladang jagung oleh warga sekitar. Tak hanya itu, Air Terjun Tama'lulua menjadi penyempurna pemandangan dari bukit ini. Sungguh Maha Besar Tuhan Sang Pencipta Semesta. Kami tak perduli sebagaimana teriknya sinar matahari pukul 11 siang, kami tetap asyik berfoto tanpa takut hitam. Prinsip kami, mengapa jauh-jauh dari Makassar ke sini jika hanya ingin jaim-jaiman. Bukit Bossolo ini memiliki 3 spot foto yang sangat keren, dan pemandangan dari sudut pandang yang berbeda. Yaitu Tanah lapang yang berlatar tulisan BOSSOLO, Puncak Bukit Bossolo, dan Sebuaah Batu yang berada di tepi Jurang di bawah Tulisan BOSSOLO. 
Merah Putih ku sayang, teruslah engkau berkibar di Langit Indonesia
Dari Spot pertama ke spot ke dua yaitu puncak bukit Bossolo, kami harus mendaki sekitar 20 meter dengan kondisi kemiringan sekitar 80 derajat. Spot kedua ini hanya sepanjang 2 meter dan lebar 1,5 meter, dikelilingi oleh jurang yang terjal. Untuk menjaga keamanan pengunjung sekeliling pinggir bukit ini dipasangi pagar kawat setinggi 1 meter dan diberi papan peringatan untuk tidak berdiri di luar pagar kawat tersebut. Sekitar 15 menit kami mengabadikan moment dan lumayan kepanasan, akhirnya kami memutuskan untuk beranjak ke spot ketiga. Tanpa kami sadari, di bawah sudah ada rombongan yang antri untuk naik berfoto di spot tadi. Dengan malu-malu seorang akhirnya berani mendekat dan meminjam bendera yang kami bawa untuk mereka pakai berfoto juga. MERDEKA. Selanjutnya kami beranjak menuju ke spot ketiga yaitu sebuah batu yang ada di pinggir jurang. Untuk menuju ke spot ketiga lumayan harus memacu adrenalin bagi kami, terutama bagi saya yang lumayan fobia pada ketinggian. Saya harus mati-matian untuk melawan diri saya agar tidak takut untuk menuju ke spot tersebut. Jalan menuju spot tersebut hanya berupa jalanan sempit yang lebarnya tak kurang dari 30 cm dengan kondisi yang agak miring. sebelah kiri adalah jurang dengan kedalaman sekitar 30 meter dan sebelah kanannya adalah tebing yang berdiri tegak lurus tanpa ada sesuatu yang bisa menjadi pegangan. Sehingga saya harus berjalan sangat pelan tanpa melihat ke samping. Bahkan sebelum tiba di spot tersebut, saya sempat dilema untuk kembali lagi dan tak usah sampai ke spot tersebut. Tetapi empat anak muda di spot tersebut menyemangati saya untuk tetap melanjutkan perjuangan saya. Dengan sedikit tertatih dan merangkak, akhirnya saya tiba dan bisa bernafas lega di spot tersebut. 
Butuh perjuangan melawan diri sendiri untuk menyingkirkan rasa takut agar bisa sampai di sini
Melihat saya yang bisa sampai di spot tersebut, membuat Icha dan Debie memberanikan diri mengikuti jejakku, meski agak pelan. Berbeda dengan Wawan dan Andang yang sangat gampang untuk tiba di spot ini, karena Wawan lumayan sering mendaki gunung, sehingga medan seperti ini tak berarti apa-apa bagi dirinya. Wawan dan Andang bahkan hanya butuh sekitar 1 menit untuk melewati jalan tersebut, sedangkan saya butuh sekitar 3 menit dengan tangan agak gemetaran baru bisa sampai di spot batu tersebut. Anak muda yang sebelumnya di spot ini ternyata menunggu kami disini, untuk meminjam bendera yang kami bawa untuk dia pakai berfoto. Eforia berfoto dengan bendera sangat tinggi karena bertepatan dengan ahri kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah berfoto dengan bendera akhirnya mereka pamit dan membiarkan kami berlima menikmati spot tersebut. Spot ini merupakan spot sempurna untuk menikmati keindahan Air Terjun Tama'lulua dari keindahan. Air Terjun tama'lulua kelihatan sangat indah dari kejauhan. Meskipun waktu kami datang bukan saat yang tepat. Debit airnya lumayan kecil, karena sekarang sudah memasuki musim kemarau. Selain itu kedatangan kami sebelum matahari condong kebarat juga mempengaruhi kualitas gambar yang kami potret, karena masih silau. Mungkin waktu terbaik untuk main kesini pada saat musim hujan dan sore hari, karena selain debit airnya besar, pepohonan sekitar menghijau, juga karena sinar matahari langsung memapar ke air terjun sehingga tidak silau lagi. 
Gado-gado, salah edit (Kiri atas - Istirahat dikios penjual di Bukit Bossolo, Kanan atas dan kiri bawah - menuju Bukit Bossolo dari parkiran, Kanan bawah puncak bukit Bossolo atau spotke dua)
Meskipun tak sesempurna dengan harapan saya, tetapi saya tetap menikmatinya, Tak ada kata kecewa yang terucap dari bibir saya, bahkan saya sangat bersyukur akhirnya saya bisa mampir ke tempat ini tanpa perencanaan yang panjang yang berujung kebatalan. Bukit Bossolo view Air Terjun Tamalulua ini sudah beberapa bulan terakhir ini menjadi destinasi impian saya yang sangat ingin saya kunjungi. Tetapi berhubung tidak ada teman ngetrip, karena yang biasa saya temani ngetrip beberapa orang sudah tidak asik lagi dan beberapa orangya lagi berhalangan sehingga hasrat itu terus terpendam. Akhirnya hanya 5 hari merencanakan trip ini, eh ternyata kesampaian. Jadi buat apa saya mengeluh dan kecewa. Bahkan saya bertekad untuk kembali main kesini, bersama mereka, ibu Kost Aswaliaty Anwar, Kamal Sidik dan Nurul Aswan, dan tentunya nanti insha Allah sudah ada baby Quinzha dan Anaknya Aswan yang akan menjadi primadona dalam trip kami selanjutnya. Trip ini sangat menyenangkan, karena satu lagi mimpi saya akhirnya terwujud. Kami pun pulang dengan sangat senang dan puas.
Terima Kasih Tuhan, saya bangga terlahir sebagai orang Indonesia
DIRGAHAYU INDONESIAKU, selamat ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tercinta, apapun kata orang tentang Indonesia, saya akan tetap cinta dan bangga akan Indonesia. Jika saya tak mampu mengharumkan namamu dimata orang, setidaknya saya berusaha untuk senantiasa menggunakan bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. SAYA CINTA INDONESIA.
Keren banget
Terima Kasih Tuhan,
Terima Kasih Kabupaten Jeneponto,
Terima Kasih Bukit  Bossolo,
Terima Kasih Indonesia,
Terima Kasih Orang Tua kami,
Terima Kasih Icha, Debie, Wagil dan Andang
Sampai Jumpa pada kesempatan berikutnya, dan review trip selanjutnya.
Karena Jeneponto Lebih Keren dari apa yang Kamu Pikirkan

 
Achyie Sabang
September 2016

 

Pulau Panambungan : Karena Liburan Tanpa Foto-foto Ibarat Sayur Tak Bergaram

Samar-samar adzan subuh mulai terdengar, saya dan teman-teman yang lain satu persatu terjaga. Saya, Ucu, Dedy, Gusti, Ammink, Budi dan seorang teman yang saya lupa namanya. Setelah shalat subuh. kami langsung grasak-grusuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke Pulau Panambungan. Ucu langsung berangkat untuk menjemput Taufik, sementara Echa dan Rian lagi diperjalanan menuju ke tempat ngumpul kami sekarang. Pagi mulai menyingsing, teman-teman juga sudah lengkap, dan barang bawaan sudah dicek ulang, saatnya berangkat menuju ke pelabuhan Paotere. Sebelum sampai di Paotere, kami menjemput Vega, doi adalah yang paling cantik di Trip kali ini. Di perjalanan menuju Pelabuhan Paotere, pemilik kapal tak henti-hentinya menelpon, menanyakan posisi kami sudah dimana serta menginformasikan jika dia sudah standby di Pelabuhan Paotere. Pukul tujuh lebih sedikit, kami tiba di Pelabuhan Paotere. Pak Kasim sang pemilik kapal yang kami carter sudah menunggu di sekitaran mushallah yang ada di dalam kawasan pelabuhan Paotere. Saya dan Gusti langsung berkenalan dengan beliau, karena sebelumnya kami hanya berkomunikasi melalui telpon saja. Beliau menunjukkan posisi dimana kapalnya tertambat. Satu persatu perlengkapan dan barang bawaan sudah turun dari mobil, mobil juga sudah terparkir dengan rapi dan terkunci dengan aman. Kami langsung menuju ke kapal. 
Perjalanan dimulai, suasana di kapal saat perjalaan menuju Pulau Panambungan
Mesin kapal mulai berderu, satu persatu dari kami mulai naik ke kapal. Tak lama kemudian Pak Kasim mulai mengangkat jangkar kapalnya, perlahanpun kapal mulai berlayar. Semakin lama Pelabuhan Paotere semakin kecil, lautpun semakin membiru. Angin semilir berhembus menyapu wajah kami seolah sebagai sambutan selamat datang kepada kami di perairan laut Makassar. Kapal berlayar ke arah utara menuju ke Pulau Panambungan tanpa kendala karena kondisi laut masih sangat bersahabat. Angin berhembus belum terlalu kencang sehingga tidak memicu timbulnya ombak yang bisa menghambat perjalanan kapal. Sekitar sejam setengah berlayar, akhirnya kapal menepi di bagian timur Pulau Panambungan. Satu persatu kami turun sambil menurunkan barang yang kami bawa dari Makassar.
Pulau Panambungan
Pulau Panambungan terletak di Kacamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Dapat diakses baik dari pelabuhan Paotere Kota Makassar ataupun Dermaga Maccini Baji yang ada di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pulau ini milik mantan bupati Kabupaten Pangkep, tetapi sekarang dikelola oleh sebuah instansi swasta yang ada Di Kota Makassar. Pulau ini merupakan pulau tak berpenghuni dengan luasan sekitar 4 kali lapangan sepakbola. Vegetasi pulau ini didominasi oleh pohon cemara laut yang lumayan rimbun sehingga menjadikan pulau ini sangat sejuk. Di tengah-tengah pulau ini terdapat sebuah villa yang sudah tidak terawat lagi, entah pengelolanya kemana dan siapa. Ketika kami mendarat di pulau ini kondisinya sangat sepi, hanya seorang lelaki paruh baya yang sedang menyapu dedaunan kering dan beberapa ekor kucing yang saling berkejaran. Beliau langsung menghampiri kami diiringi oleh kucing-kucing tersebut. Setelah berbincang-bincang dengan beliau, ternyata dia ditugaskan sebagai penjaga pulau ini, namanya Pak Udin. Pak Udin hanya datang ke pulau ini jika pagi hari dan akan meninggalkan pulau ini pada saat,siang hari, Pak Udin tinggal di pulau tetangga Pulau Panambungan, yaitu Pulau Ballang Lompo. Untuk sekedar bersantai di pulau ini, masing-masing pengunjung dikenakan biaya masuk sebesar Rp.50.000. Ongkos tersebut hanya berupa uang masuk saja tanpa ada fasilitas penunjang seperti penginapan atau makanan ataupun fasilitas lainnya.
Makan siang yang sederhana tetapi super istimewa
Kami langsung mencari lokasi yang bagus untuk mendirikan tenda. Gusti dan kawan-kawan memilih di bagian barat pulau untuk lokasi pendirian tenda. Suasana pulau langsung berubah menjadi riuh rendah, oleh kehadiran kami. Kami langsung disibukkan oleh aktivitas pendirian tenda dan pengaturan barang-barang. Tenda sudah terpasang dan waktunya aktivitas untuk urusan pengisian lambung yang sedari tadi sudah keroncongan, maklum tidak ada yang sarapan pagi dan diperparah oleh terpaan angin laut kurang lebih sejam stengah. Semua bergerak cepat, ada yang mengurus ikan, ada yang memasak, ada yang mempersiapkan api untuk pembakaran ikan, ada yang meracik sambel dabu-dabu untuk cocolan ikan bakar nantinya. Sekitar pukul sebelasan siang semuanya sudah tersaji di sebuah gazebo yang ada di pinggir pulau ini. Ada ikan bakar, ada nasi, ada mie instan rebus yang dicampur dengan telur dan sambal dabu-dabu. Walaupun kondisi nasi yang tak sempurna alias hangus dalam keadaan masih mentah, tetapi kami tetap menyantapnya dengan lahap. Kami tetap kenyang dan menganggap jika ini adalah makan siang istimewa. Mengapa istimewa? karena kita menikmati apa yang ada tanpa mengeluh. Karena tempat dan view pada saat kita makan sangat keren, apalagi bersama dengan sahabat-sahabat tercinta. Perfect moment. Perut sudah terisi, maunya sih berenang, tetapi matahari lagi semangat-semangatnya bersinar dan air juga lagi surut, sehingga ada baiknya kita tidur siang dulu di pinggir pantai di bawah pohon cemara laut yang rimbun. Tidurnya pasti nyeyak.
Karena liburan tanpa foto-foto ibarat sayur tak bergaram
Matahari sudah condong ke barat, suara adzan Ashar samar kedengaran dari Pulau tetangga, Pak Kasim pun juga sudah merapat di dermaga mengantarkan beberapa pesanan kami yang lupa kami bawa, kopi, bola lampu, wajan, panci dan sendok nasi. Karena kopi sudah tiba, ada baiknya kita ngopi-ngopi ganteng dulu sebelum main ke dermaga. Kopi sudah siap, dan bola lampu juga sudah selesai dirakit oleh Pak Kasim, mari kita duduk santai sambil ngopi ganteng.
Matahari sudah tidak terlalu terik, saatnya main ke dermaga. Di dermaga aktifitas kami yah apalagi jika bukan foto-foto. Difoto dan memoto. "fotoka'dule", "saya lagi", yah kata-kata itulah yang senantiasa terucap di dermaga ini. Apalah arti sebuah trip tanpa kamera. Dan trip tanpa foto ibarat sayur tanpa garam. Kurang lebih sejam kami puas menikmati berfoto-foto ria. Kami bebas berekspresi, berteriak dan tertawa tanpa merasa malu atau mengganggu orang lain karena disini hanya rombongan kami. Setelah puas berfoto di dermaga saatnya berenang dan bermain air sambil menanti sunset. Lagi asik-asiknya kami bersenda gurau di Pantai bagian Timur pulau, terlihat satu kapal merapat ke dermaga dan menurunkan beberapa orang pznumpangnya. Artinya malam nanti kita ada teman untuk nginap. Sebenarnya saya belum puas berenang, tetapi karena saya tidak ingin kehilangan melihat momen sunset, jadi saya memutuskan untuk naik dan kembali ke sekitaran tenda. Ternyata setelah saya naik, yang lain pun juga ikutan naik. Sehingga acara berenang sudah selesai beralih ke acara menikmati moment matahari terbenam. Moment matahari terbenam tak lepas dari sesi foto-fot lagi, kali ini yang mznjadi fotografer adalah Uci', yang lain satu-persatu bergantian menjadi model. Hingga akhirnya kami harus menyudahi acara foto-fotonya karena hari sudah berganti malam.
Apayah, bingung captionnya apaan
Genset sudah menderu, lampu rakitan Pak Kasim tadi sudah menyala memberikn sinar terang yang mengusir kegalapan pulau. Semuanya sudah mandi dan berganti pakaian serta wangi, saatnya kita kembali untuk urusan makan malam. Seperti biasa semua mengambil bagiannya masing-masing, ada yang mengurus beras, ada yang mengurus ikan, ada yang mengurus indomie dn telur, ada yang mzngurus lombok dan tomat dan ada pula yang hanya berdiri atau duduk menunggu instruksi untuk melakukan apa. Hanya butuh sejam, 11 piring nasi, 7 piring ikan bakar, 4 piring sambal dabu-dabu, 2 piring telur orak arik, 1 panci indomie rebus sudah terhidang di atas pasir. Kami semua sama-sama duduk melingkar lalu makan bersama. Dan yang terpenting nasinya sudah ala-ala nasi restoran, Pulen dan wangi. Menunya lagi-lagi didominasi oleh ikan, karena ikan yang dibelikan oleh Pak Kasim sangan banyak dan semuanya sangat enak. Hanya 250.000 rupiah, kita sudah dikasih ikan stengah basket, ikannya campur-campur, ada sunu, napaleon, kakatua. kerapu, baronang, dan lainnya, semuanya ikan karang yang ditangkap dengan cara di panah. Makan malam yang begitu mewah. Alhamdulillah terima kasih Tuhan.
Bonus jika nginap di pulau, ada sunrise dan sunset yang senantiasa mendamaikan jiwa raga
Sehabis makan malam kami duduk-duduk santai di sekitaran api unggun yang kami nyalakan sembari ngobrol-ngobrol ringan. Sebelum kami putuskan untul tidur, kali jalan-jalan dulu ke dermaga lagi untuk melihat sinar lampu-lampu yang dipancarkan dari Kota Makassar. Sangat Indah dan menawan. Tanpa kami sadari, hari sudah beeganti dari hari Sabtu menjadi hari Minggu alias sudah dini hari. Kami kembali ke tenda untuk istirahat. Api Unggun yang tadi kami tinggal mulai meredup, sehingga beberapa teman memutuskan mzncari kayu untuk menyalakan kembali api untuk menghalau dinginnya malam. Api kembali menyala, satu persatu mulai masuk kedalam tenda. Namun hanya sekitar 3 menit, beberapa orang kembali keluar, termasuk saya. Di dalam tenda sangat panas, sehingga kami melutuskan untuk tidur di luar tenda saja.Kantuk pun tiba-tiba hilang, jadinya kita kembali bercerita panjang lebar hingga satu persatu ketiduran. Kami semua terlelap dalam mimpi indah kami. Selamat tidur sahabat.
Suasana malam sebelum kami tertidur pulas
Suara alarm dari Handphone Vega menyadarkanku dari mimpi-mimpi indahku. Kugosok-gosok mataku sebelum akhirnya saya buka. Vega sudah duduk di depan tendanya, karena sebelumnya memang saya sudah janjian dengan dia untuk bangun subuh karena ingin melihat matahari terbit di dermaga. Dedi juga sudah bangun. Pukul stengah 6 pagi kami bertiga bergegas ke dermaga, hari sudah terang, tetapi mataharinya masih malu-malu muncul, agak tertutup awan. Hampir stengah jam lebih, matahari pagi Pulau Panambungan akhirnya menyapa kami. Saya tak henti-hentinya bersyukur dan memuji kebesaran Tuhan. sekali lagi terima kasih Tuhan. Pengalaman pertama dan entah kapan lagi bisa kembali main ke sini, semoga secepatnya.
Foto bersama dulu sebelum meninggalkan Pulau Panambungan

Kami kembali ke tenda, beberapa orang sudah bangun, bahkan Budi sudah memasak kopi dan Indomie, tetapi sayang hanya untuk dirinya sendiri, Ah Budi nggak keren, Au Ah ZBL. Akhirnya saya mengambil alih masak mie dan telur untuk sarapan pagi kami. Setelah semua sudah bangun dan sarapan. saatnya beres-beres karena Pak Kasim akan menjemput kami pukul 8 pagi. Sebelum pulang, saya menghampiri rombongan yang kemarin sore tiba, ternyata mereka pulangnya pukul 12 siang, sehingga saya menawari ikan kepada mereka supaya kami tak repot lagi membawanya balik ke Makassar karena ikan masih banyak yang tersisa.
Terima Kasih Pulau Panambungan
Pukul 8 lewat Kapal milik Pak Kasim merapat ke pantai persis di depan tenda kami. Satu persatu barang diangkat ke kapal. Setelah semua barang sudah dikapal, selanjutnya kami ke dermaga. Kami pamit pada rombongan yang lain, ketika kami lewat di depan tendanya. Di dermaga sebelum naik ke kapal saatnya berfoto lagi, footo terakhir di Dermaga Pulau Panambungan untuk edisi trip kali ini. Kapal perlahan meninggalkan dermaga saat kami semua sudah duduk di lantai atas kapal. Kami melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Pulau Panambungan. Sekitar 90menit mengarungi Selat Makassar, akhirnya kami kembali tiba di Pelabuhan Paotere. Tiada kata yang pantas terucap selain ucapan syukur kepada Tuhan, Tuhan Maha Indah dan Mencintai Keindahan. Tuhan Maha Baik.
Mumpung sebagai penulis, ah banyakin pasang foto sendiri deh
Terima kasih Tuhan,
Terima kasih Pulau Panambungan,
Terima kasih Indonesaiaku,
Terima kasih Orang Tuaku,
PP - Pulang Pergi - Pulang Merah - Pergi Putih. Indonesia banget kan

Terima kasih Vega, Gusti, Uci, Budi, Dedi, Echa, Ammink, Ucu, Taufik dan Rian,
Terima kasih yang tak terhingga kupersembahkan untuk Pak Kasim, terima kasih banyak Oom.

 
@lanaasir (instagram dan twitter)


Achyie Sabang
September 2016