Minggu, 20 Oktober 2019

Pantai Walakiri, Pantai Surga di Nusa Tenggara Timur


Jika berlibur ke Sumba, tidak afdal rasanya jika tidak main ke pantai. Sumba selain terkenal dengan padang savanna dan bukit-bukitnya yang menjadi habitat kawanan kuda liar, juga tersohor akan pantai-pantainya yang memiliki karakter berbeda-beda. Salah satu pantai yang hukumnya wajib di kunjungi jika ke Sumba adalah Pantai Walakiri. Pantai Walakiri? Iya, pantai Walakiri. Memangnya ada pantai Walakanan? Tidak ada. Walakiri terletak di Kabupaten Sumba Timur, Kecamatan Pandawai, Desa Watumbaka. Berjarak kurang lebih 40 kilometer dari kota Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur, atau sekitar 1 jam berkendara. Jalan menuju pantai Walakiri sebenarnya sudah sangat mendukung dengan kondisi jalan yang sudah diaspal, namun kendaraan umum yang menghubungkan Walakiri dengan Waingapu masih sangat terbatas. Jadi untuk mengunjungi pantai ini, kebanyakan pengunjung menggunakan kendaraan pribadi.
Memiliki garis pantai yang memanjang serta pada saat surut air sangat jauh meninggalkan pantai, sehingga membentuk bidang seperti lapangan sepak bola. Anak-anak pun berlarian saling berkejaran, ada yang bermain bola atau sekedar saling berkejaran. Keceriaan mereka, tawa yang lepas, senyum yang tersungging dari bibir mungil mereka membuat siapapun yang menyaksikannya turut bahagia dan tentram. Pemandangan ini membuat Walakiri terasa sangat hidup dan mengesankan.

Berkunjung ke Walakiri pada saat sore hari memang sangat bagus. Selain menyaksikan anak-anak yang bermain di pantai, pengunjung juga bisa menikmati gorengan yang masih panas, dengan berbagai macam soft drink sambil menunggu matahari terbenam. Selain soft drink juga tersedia kopi hitam, teh panas ataupun kopi susu. Dan paling special adalah kelapa muda yang baru dipetik pada saat ada yang memesan. Jadi kesegarannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Seketika lelah dari kota Waingapu terbayarkan.
Momen terbaik di Walakiri adalah ketika matahari perlahan menuju ke peraduannya. Air laut yang beriak kecil-kecilan memendarkan sinar keemasan sebagai hasil pembiasan dari sinar matahari bak hamparan permadani berlapis emas, berkilau dan membuat mata terpukau. Selain itu di salah satu sudut pantai Walakiri yang ditumbuhi mangrove, terdapat satu spot yang sangat bagus dan mempesona untuk dijadikan sebagai tempat berfoto. Beberapa pohon mangrove kerdil, yang menjadi pelengkap alami semakin mendramatisir suasana matahari yang akan terbenam. Berfoto siluet diantara pepohonan kerdil yang seolah menari dengan latar langit sore yang semakin menjingga seiring matahari yang terbenam menjadi pengalaman yang tak terlupakan di Pantai Walakiri.

Dengan pesona yang ditawarkan, wajar jika Pantai Walakiri mendapat julukan Pantai Surga di Nusa Tenggara Timur

Minggu, 13 Oktober 2019

Ratenggaro dan Prai Ijing, Kampung Adat Yang Membuat Betah Berlama-lama di Tanah Sumba


Sumba, tanah eksotis di Selatan Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Apasih yang tidak menarik untuk diceritakan tentang tanah Sumba? Dari kawanan kuda liar yang berkeliaran di padang savanna hingga pantai-pantai eksotis yang menimbulkan decak kagum bagi siapapun yang berkunjung ke tanah Marapu ini. Namun untuk tulisan ini bukan cerita tentang bukit yang padang savannanya didiami oleh gerombolan kuda liar ataupun tentang pantai eksotis bahkan bukan juga tentang air terjunnya yang mempesona. Melainkan cerita tentang perkampungan adat yang ada di Tanah Sumba. Yap, Betul. Perkampungan adat Ratenggaro dan Perkampungan adat Prai Ijing.


  • RATENGGARO

Perkampungan adat Ratenggaro, terletak di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Berjarak kurang lebih 40 Kilometer dari pusat kota Kabupaten Sumba Barat Daya, Tambolaka, atau meemakan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit, dengan kondisi jalan yang lumayan bagus. Akses menuju ke perkampungan adat Ratenggaro, sudah bisa dikatakan gampang, karena sekarang sudah terdapat angkutan umum berupa bus yang melayani rute dari Kota Tambolaka menuju ke Kampung Ratenggaro. Jadi selain menggunakan angkutan pribadi, Ratenggaro bisa diakses dengan menggunakan angkutan umum yang biayanya lebih terjangkau.
Kesan magis dan mistis akan terasa ketika sudah dekat dengan perkampungan utama di Kampung Adat Ratenggaro. Bagaimana tidak, untuk sampai di kampung utama, pengunjung harus melewati lahan pekuburan batu tua yang meyerupai menhir dengan bentuk seperti meja yang lebar. Jumlah kuburan tersebut berkisar ratusan dan mengapit jalan yang harus dilalui untu sampai di perkampungan. Sebagian dari kuburan tersebut merupakan kuburan leluhur dari masyarakat sekitar. Adanya hiasan berupa ukiran-ukiran binatang khas Sumba seperti ayam, buaya, dan kuda semakin memperkuat aura magis yang menyelimuti kuburan ini. Adapun besar kecilnya ukuran kuburan melambangkan strata sosial, begitupula dengan jenis ukiran hiasan kuburannya. Setelah melewati kuburan batu, barulah tiba di perkampungan utama.
Perkampungan utama terletak tepat di pesisir pantai. Terdiri dari beberapa rumah panggung dengan ciri khas atap yang menjulang menyerupai menara berbentuk limas segi empat.  Tingginya bisa mencapai 15 meter atau lebih dengan bahan atap terbuat dari ilalang yang dikeringkan, sedangkan bahan rumah terbuat dari kayu dan bambu. Ketinggian atap menara yang bervariasi perlambang status sosial sang penghuni di lingkungannya. Semakin tinggi atap menaranya maka semakin tinggi pula strata sosial mereka. Kolong rumah dijadikan sebagai tempat untuk hewan ternak, semisal babi dan ayam, selanjutnya lantai utama didadikan sebagai tempat tinggal dan aktivitas sebagaimana rumah pada umumnya, sedangkan lantai di atasnya dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga.
Masyarakat ratenggaro pada umumnya masih menganut kepercayaan leluhur tanah Sumba, yakni kepercayaan Marapu. Kepercayaan tentang pemujaan kepada leluhur dan nenek moyang. Sehingga merupakan hal lazim ketika berkunjung ke Ratenggaro dan menemukan fakta bahwa posisi perkampungan dan posisi pekuburan leluhur berdampingan. Bahkan beberapa rumah, di halaman belakangnya terdapat kuburan tua yang bergungsi sebagai tempat pemujaan leluhur. Laki-laki dewasa Ratenggaro selain sebagai petani, juga ada yang berprofesi nelayan. Waktu senggang mereka habiskan dengan menggembala ternak seperti babi dan kuda. Sedangkan ibu-ibu dan remaja putri biasanya menghabiskan waktu untuk menenun kain khas Sumba.


  • PRAI IJING / PRAIJING

Tidak jauh dari pusat kota Waikabubak, hanya berjarak sekitar 3 kilometer, tepatnya di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ya. Prai Ijing. Walaupun tergolong sangat dekat dengan ibukota kabupaten, tetapi akses ke Prai Ijing masih sulit. Meskipun kondisi jalan sudah beraspal dan sangat baik, tetapi angkutan umum untuk ke Prai Ijing belum ada, sehingga masih sulit untuk diakses. Jadi jika hendak ke Prai Ijing mesti menyewa atau mencarter kendaraan. 

 Prai Ijing terbagi menjadi dua bagian yaitu Prai Ijing bagian bawah dan praijing bagian atas. Dari Prai Ijing atas, Nampak Prai Ijing bagian bawah dengan latar persawahan yang membentang dan nun jauh kelihatan bukit-bukit khas sumbah yang berdirih kokoh. Hal yang paling mencolok dari perkampungan Prai Ijing adalah desain rumah yang unik. Desain rumah yang hampir sama dengan rumah-rumah yang ada di Ratenggaro. Beratapkan ilalang dengan konstruksi atap yang menjulang bak menara di balik rimbunnya pepohonan semakin menambah kesan eksotis perkampungan ini. Warna coklat dari atap yang terbuat dari ilalang kering bersanding dengan hijaunya dedaunan dari pohon yang rimbun memberikan efek kontras yang membuat siapapun akan betah memandangnya. Dari beberapa rumah tradisional yang berejer, terdapat dua macam jenis atap, ada yang atapnya biasa saja tidak bermenara dan adapula yang bermenara. Mungkin perbedaannya terletak pada fungsinya. Secara masyarakat Prai Ijing masih menganut kepercayaan leluhur, Marapu. Di Prai Ijing atas, yang terdiri dari beberapa rumah yang bisa dihitung jari, pengunjung bisa mnyaksikan makam-makam leluhur yang posisinya pas berada di halaman rumah. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pada saat prosesi ritualan Marapu.
Berkunjung ke Prai Ijing pada saat sore hari adalah alternative terbaik, karena warga sudah pulang dari lading atau sawah, sehingga pengunjung bisa berinteraksi dengan warga setempat. Ketika berkunjung pada saat musim panen usai, biasanya jalanan yang terletak di depan rumah-rumah warga dijadikan sebagai tempat menjemur padi. Di sarankan untuk membawa bekal, karena di Prai Ijing belum ada warung yang menyediakan makanan bagi pengunjung.
Sama halnya dengan di Ratenggaro, waktu senggang warga digunakan untuk menggembala ternak babi, dan ibu-ibu selain mengurus rumah tangga juga menghabiskan waktunya menenun kain.
Kain bagi masyarakat Sumba sangat erat kaitannya, bahkan bisa dikatakan bahwa kain adalah segalanya bagi masyarakat Sumba. Selain untuk kepentingan ritual Marapu, pakaian sehari-hari, kain juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan. Harga kain Sumba yang asli memang sangat fantastis, paling murah sekitaran 700.000 ribu rupiah, yang lebih mahal banyak, bahkan yang berharga puluhan juta ada. Wajar saja harganya segitu, karena pengerjaannya murni diekrjakan menggunakan dengan kedua tangan. Bahan-bahan pun yang digunakan alami dari alam. Benang dari kulit kayu, pewarna dari bahan yang telah alam siapkan seperti buah-buahan tertentu, akar tanaman, tanah, dan lain sebagainya.

Sabtu, 12 Oktober 2019

Mengunjungi Bukit Nane Pulau Polassi Yang Lagi Viral di Sosial Media

Polassi, salah satu nama pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir para traveler, khususnya traveler lokal Selayar maupun traveler dari luar Pulau Selayar, termasuk traveler Sulawesi Selatan dan  beberapa traveler dari Pulau Jawa. Pulau ini menjadi viral karena memiliki spot yang sangat instagramable, yang katanya KW Pulau Padar Labuan Bajo, Flores. Secara administrasi Pulau Polassi terletak di desa Polassi, Kecamatan Bontosikuyu, berdekatan dengan pulau Bahuluang dan Tambolongan. Pulau ini merupakan pulau berpenduduk, dan bahkan pulau ini memiliki SD SMP Satu atap. Perkampungan penduduk terpusat pada Pesisir Timur pulau ini.
Pulau ini menjadi viral karena di ujung selatannya memiliki bukit yang dikenal dengan nama Bukit Nane. Dari puncak bukit Nane kita akan disuguhkan pemandangan sekeliling pulau yang menakjubkan. Pemandangan perairan Selayar yang berwarna biru menyatu dengan garis horizon, pantai-pantai pasir putih yang mengelilingi pulau dengan airnya yang jernih memadukan warna biru dengan tosca.

Untuk menuju pulau ini butuh tenaga dan persiapan yang matang. Tidak boleh asal-asalan. Dari Kota Benteng menuju ke Kampung Turungan butuh waktu kurang lebih 45 menit berkendara menggunakan sepeda motor. Kampung Turungan merupakan perkampungan Nelayan yang merupakana salah satu gerbang terdekat untuk menuju ke Pulau Polassi. Dari perkampungan ini butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai ke Pulau Polassi jika ombak bersahabat dan bukan musim timur. Saat ini kapal regular yang melayani penyeberangan ke Pulau Polassi belum ada, jadi jika ingin ke Pulau Polassi harus mencarter kapal nelayan lokal di perkampungan Turungan. Makanya butuh persiapan dana perencanaan yang matang. Bukan tiba masa tiba akal. Selain untuk urusan transportasi, urusan logistic juga penting. Walaupun pulau Polassai termasuk pulau berpenghuni, tetapi jangan harap menemukan penjual makanan di sekitar Bukit Nane. Tidak ada. Jadi harus membawa bekal. Karena waktu perjalanan pergi pulang lumayan lama. Kurang lebih 8 jam perjalanan dengan perhitungan Kota Benteng – Kampung Turungan 45 menit, persiapan keberangkatan di kampung Turungan kurang lebih 15 menit, perjalanan Turungan – Pulau Polassi kurang lebih 3 jam perjalanan laut, dengan kondisi ombak yang mengajak untuk bergoyang pada saat kapal sudah melewati Pulau Bahuluang. Total kurang lebih 4 jam untk perginya, dan pulangnya pun hampir sama, sehingga waktu perjalanan kurang lebih 8 jam.

Jika sudah tiba di Pulau Polassi, untuk sampai di Puncak Bukit Nane, terdapat dua jalur, yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat, rute tanjakannya lebih ekstrim, dan lebih cepat sampainya, ombak yang dihadapi pun lumayan tenang jika memilih untuk menempuh jalur barat. Berbeda dengan jalur timur, jalur timur kondisi medannya lebih landai sehingga penanjakan lebih santai, tetapi agak panjang dan lama perjalanannya. Untuk sampai pada titik star awal penanjakan menggunakan jalur timur, perahu/kapal mesti mengitari pulau, sehingga peluang untuk bertemu ombak yang lumayan bisa mengajak untuk goyang ombak sangat besar. Bagi yang punya nyali dan tenaga besar, biasanya memilih jalur barat, tetapi bagi mereka yang ingin perjalanan santai dan bisa jepret-jepret di tengah perjalanan pasti memilih jalur timur. Jalur barat dengan kondisi kemiringannya yang hampir tegak lurus, sehingga butuh tenaga ekstra pada saat menanjak, dan butuh tenaga double ekstra serta mental kuat jika akan turun. Tetapi semua perjalanan baik melalu jalur timur ataupun jalur barat akan terbayrkan ketika sudah sampai di Puncak Bukit Nane. Angin yang semilir bertiup seolah bersyair menyanyikan lagu selamat datang kepada siapapun yang datang. Rerumputan pun tak kalah menunjukkan tarian terindahnya menyambut kehadiran tamunya. Di kejauhan di bawah, ombak bergulung-gulung dan saling berkejaran menuju pantai. Birunya laut yang menyatu dengan horizon memberikan ketenangan dan kedamaian setelah proses perjuangan sampai ke puncak. Tidak usah terlalu terburu-buru untuk jepret sana dan sini, nikmatilah suguhan alam yang bersimfoni menyatu membentuk irama dan pemandangan yang tak terlupakan. Dendangan angin, tarian rerumputan, atraksi ombak hingga kedamaian yang ditawarkan oleh birunya laut menyatu membentuk senyawa yang kuat dengan ikatan tak terpisahkan bernama BUKIT NANE.
Bukit Nane dengan segala keindahannya, pantai pasir putih, bukit savanna, dan pemandangan laut yang adem merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan yang sepantasnya dan seharusnya disyukuri, dijaga dan dilestarikan. Membiarkannya tetap indah tanpa campur tangan manusia, menjaganya dari sampah yang bisa merusak ekosistem, dan tidak melakukan vandalism merupakan salah satu aksi kecil yang dampak positifnya sangat  besar untuk klestarian Bukit Nane sehingga generasi berikutnya juga bisa tahu dan menyaksikan keindahan Bukit Nane secara langsung, bukan dari cerita orang.
Terima kasih Selayar, terima kasih @anakrumahan98 dan @OpenTripSelayar yang sudah mengajak saya untuk liburan kesini dan hospitalitynya yang luar biasa ketika saya di Selayar. Ah aku jatuh cinta lagi dengan kabupaten terselatan di Sulawesi Selatan ini. Selayar, aku jatuh cinta.