Jumat, 16 Maret 2018

Malam di Labuan Bajo, Tentang Kampung Kuliner Kampung Ujung dan Kain Flores

Puas menikmati sunset di Kafe Paradise, kami berempat kembali menuju ke hotel. Kebetulan letak hotel kami berada pas di kampong kuliner Kampung Ujung, jadi sebelum masuk hotel, kami mampir dulu untuk makan malam. Kampung Kuliner Kampung Ujung agak mirip dengan Pantai Losari sebenarnya. Penjualnya berderet dari ujung ke ujung di pinggir pantai, sama-sama buka pada malam hari saja. Bedanya, jika di Pantai Losari kulinernya berupa pisang epe, sedangkan di Kampung Ujung semuanya menjajakan makanan laut, ikan yang segar-segar, lobster, udang dan tak ketinggalan ayamnya juga.
Ikan Cepa dan Ikan Kakap bakar ala Kampung Kuliner Kampung Ujung
Kami memilih salah satu stand yang pengunjungnya tidak terlalu ramai, agar kami bisa bebas. Sebelum memilih tempat duduk, pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah, “ada jeruk nipis?”. Kenapa mesti harus ada jeruk nipis? Karena orang Makassar makan ikan bakar atau apalah tidak lengkap rasanya jika tidak ada jeruk nipis. Orang Makassar pasti setuju. Jika pengunjung tidak terlalu ramai, selain bebas bergerak otomatis pesanan pasti cepat selesai. Dan betul, tidak perlu menunggu lama, pesanan kami langsung dihidangkan, 2 ikan bakar jumbo, kakap dan cepa terhidang di hadapan kami. Sangat menggoda. Perut yang langsung keroncongan dan liur yang semakin encer melihat ikan bakar tersebut membuat kami langsung menyantapnya. Kami berempat kewalahan menyantap kedua ikan jumbo tersebut. Rasanya betul-betul membuat lidah menari-nari. Banyak yang bilang, tidak afdol ke Labuan Bajo jika tidak mengunjungi dua tempat di Kota tersebut, yakni, Kampung Kuliner Kampung Ujung dan Kafe Paradise. Dan betul sekali pendapat tersebut, karena di kedua tempat itu, kita betul-betul dimanjakan. Satu tempat memanjakan mata dan satu lagi tempat memanjakan lidah. Satu lagi fakta dari kampong ujung, harga makanannya murah dan bersahabat, penjualnya juga rata-rata perantau dari Sulawesi Selatan.
Ekspresi sudah lapar, tetapi disuruh untuk selfie

Mata sudah puas, perut juga sudah puas, saatnya kembali ke hotel untuk bersih-bersih dan istirahat. Namun ketika keluar dari tempat makan, kami dihadang oleh beberapa orang penjual kan khas Flores. Awalnya kami tidak tertarik karena sudah lelah, dan gerah seharian jalan terus. Tetapi karena kegigihan para penjual kain tersebut akhirnya kami melirik juga, dan kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh mereka untuk menunjukkan semua dagangannyan. Mulai dari Blanket tenun Flores, syal dan ikat kepala. Kainnya cantik-cantik dan unik ternyata, harganya? Unik juga, Rp.350.000 per lembar. Dengan proses tawar menawar satu kain blanket saya dapat dengan harga Rp.200.000. Kegigihan Mitha dalam menawar membuatnya mendapatkan kain yang lebih murah lagi dibanding saya, 1 blanket dan 1 syal di dapat dengan harga Rp.200.000. Uncle Japh dan Topan masih belum tertembus benteng pertahanannya. Kain sudah kami dapat, kami berempat langsung menuju hotel. Ternyata kami diikuti oleh seorang penjual kain lagi menuju lobby hotel, dan  distu terjadi lagi proses tawar menawar yang sengit antara Uncle Japh, Mitha dan Penjual kain tersebut. Dari kain harga Rp.300.000 dia dapatkan menjadi Rp.100.000. Lumayan juga mereka menawar.
Kain hasil buruan Mitha, Rp200.000, kain kualitas terbaik dan inklud syal
Selesai proses pembelian kain untuk oleh-oleh dan pribadi kami menuju kamar, untuk istirahat dan bersih-bersih diri. Rasa kantuk, lelah sirna setelah air hangat mengguyur tubuh kami, seolah kantuk dan lelah terbawa oleh air hangat yang mengguyur tubuh kami. Saya melihat kain saya, kain tersebut saya belikan untuk ibu saya, rasanya kurang deh untuk tante saya dan ketiga kakak perempuan saya. Saya memutuskan untuk turun dari hotel sendiri mencari penjual kain. Harga penawaran dari seorang penjual kain yang saya panggil masih sama, Rp.350.000 untuk kain dengan kualitas terbaik, sedangkan kualitas nomor dua dia tawarkan Rp.300.000. Tanpa basa-basi, saya mengatakan saya ingin mengambil 4 lembar, jadi total penawaran si bapak Rp.1.400.000. saya langsung menawar Rp.500.000 untuk 4 lembar kain kualitas terbaik. SI bapak mentah-mentah menolaknya, dia menurunkan menjadi 1,2 juta, saya tetap keukeh pada penawaran saya. Turun, turun, dan turun hingga dia patok harga mentok Rp.800.000. sekali Rp.500.000 tetap Rp.500.000, itu prinsip saya. Dengan modus penawaran umumnya, berpura-pura pergi, lalu si bapak berteriak tujuh setengah, saya tetap melangkah tanpa menoleh, lalu turun tujuh ratus. Dalam hati saya, yes sedikit lagi. Sekali lagi tanpa menoleh, hingga si bapak berteriak, OK ambil Rp.500.000 4 kain, silakan dipilih. Dengan secepat kilat saya berbalik menoleh, tanpa menyia-nyiakan saya langsung memilih 4 kain yang saya incar, 2 biru, 1 merah dan 1 hijau. Fix, Rp.500.000 untuk 4 kain. Rekor saya dalam menawar, dari harga Rp.1.400.000 hingga turun ke Rp.500.000. hahahah, ibu-ibu kompleks lewat. Sesampainya di hotel lalu memperlihatkan ke Mitha, Uncle Japh dan Topan hasil perburuan saya, satu kalimat dari mereka, “Gila”, kuat banget nawarnya”.
Rp.700.000 untuk 5 Lembar Kain Blanket Khas Flores
Sesuai rencana awal, setelah mandi, rencananya langsung istirahat, agar besok bisa fit untuk mulai trip sailing Komodo. Tetapi karena kebiasaan kami sebelum ke Labuan Bajo, yang suka dan rajin begadang, mata kami belum bisa diajak untuk berkompromi agar bisa terpejam di pukul 9 malam, kami memutuskan mencarikafe terdekat untuk menikmati malam di Labuan Bajo. Kafe terdekat sekitar 100  meter dari hotel, kami memilih kafe tersebut sesuai rekomendasi teman yang pernah ke Labuan Bajo. View kafe tersebut lumayan keren, tak ada pengunjung, bebas memilih mau duduk dimana. Lagi-lagi kopi Flores menjadi pilihan kami. 3 kali dalam sehari, kopi Floresnya. Tetapi sayang kafenya hanya beroperasi sampai pukul 11.00 malam, jadi mau tidak mau, kami harus angkat kaki sebelum pukul 11.00 malam. Kami kembali ke hotel untuk betul-betul istirahat agar besok kembali fit untuk memulai petualangan kami yang sesungguhnya.
Malam di Labuan Bajo, Yang Tengah memakai syal baru.

Labuan Bajo, cerita tentang Kopi Flores dan Sunset Yang Bikin Susah Move On

Hangatnya sinar mentari pagi menyambut kedatangan kami di Kota Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Semua rasa lelah sirna ketika kami turun dari kapal Tilong Kabila, kapal yang membawa kami mengarungi laut Flores dari Kota Makassar ke Kota Labuan Bajo selama 18 jam. 
Pelabuhan Makassar dengan Latar Kapal Tilong Kabila
Sesampainya di Labuan Bajo, kami langsung menuju ke Hotel Siola, untuk menyimpan barang bawaan kami. Pucuk dicinta ulam tiba, ternyata kami diizinkan untuk check in, walaupun masih sekitar pukul 08.00 pagi. Selesai check in dan mengatur barang, selanjutnya mencari pengganjal perut. Di sudut jalan Kampung Ujung, kami menemukan penjual aneka kue tradisional dan nasi kuning. Sambil memilih kue dan menunggu pesanan nasi kuning dibuatkan, kami berbincang-bincang, dan ternyata mereka dari Sulawesi Selatan. Orang Pangkep. Jadilah suasana semakin hangat. Perut sudah kenyang waktunya mengeksplor Labuan Bajo darat dan sekitarnya. 
Suasana di atas kapal

Menunggu sunset di atas kapal

Hello Flores

Flores, kami datang
Sebelum mengeksplor untuk memudahkan, otomatis kami butuh transportasi, transportasi yang simple dan irit itu motor, yap tempat penyewaaan motor. Letaknya di sekitaran pelabuhan Labuan Bajo. Dengan uang 75.000 Rupiah, motor berhasil kami bawa kabur selama 24 jam alias disewa. Setelah berembuk, jadilah pilihan kami berempat adalah Cancar di Kabupaten Manggarai Tengah. Cancar itu adalah sawah dengan bentuk seperti sarang laba-laba jika dilihat dari atas bukit. Perjalan kami berjalan lancar, menikmati jalan yang mendaki dan berkelok-kelok membuat perjalanan ini semakin memanjakan kami.
Pelabuhan Labuan Bajo
Menurut yang punya penyewaan motor, dari Labuan Bajo ke Cancar hanya butuh sejam perjalanan. Tetapi kejanggalan terjadi ketika kami sudah berkendara lebih sejam. Jangankan ada tanda-tanda sudah dekat ke Cancar, bahkan memasuki Kabupaten Manggarai Tengah juga belum, kami masih di Lembor. Mitha jadi kesel, karena sudah pukul 12 lewat kami masih di perjalanan, sehingga demi kenyamanan bersama kami memutuskan untuk singgah di sebuah warung makan, sekedar ngopi dan istirahat sejenak sembari menanyakan jarak dan waktu yang masih harus kami jalani jika ingin ke Cancar. 
Selamat Datang di Labuan Bajo
Ketegangan sempat terjadi, karena Mitha yang lumayan terbawa perasaan. Dia kesal karena waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang, sementara kami ingin kembali ke Labuan Bajo lagi untuk melihat sunset alias matahari terbenam. Mitha takutnya kami tidak bisa sampai di Labuan Bajo sebelum matahari terbenam. Sebenarnya saya setengah-setengah, antara mau lanjut menuju Cancar atau kembali saja ke Labuan Bajo untuk melihat sunset. Akhirnya saya mengalah, karena saya yang mengajak Mitha kesini, saya mengalah untuk kembali saja ke Labuan Bajo, ke hotel istirahat lalu mencari tempat melihat sunset yang keren. Namun keajaiban terjadi setelah dia selesai makan, dia mengajak kami untuk berangkat, saya langsung menyanggah bahwa tiidak usah buru-buru, toh ini baru pukul 1 siang, kita masih punya waktu 3-4 jam untuk tiba di Labuan Bajo, dia menjawab, ayo kita lanjut ke Cancar. Akhirnya perjalanan menuju Cancar kami lanjutkan.
Kehangatan bersama warga Flores
Memasuki Kabupaten Manggarai Tengah, kami disambut oleh cuaca yang kurang bersahabat, awan hitam memayungi sepanjang perjalanan kami semenjak memasuki kawasan Manggarai Tengah, hingga hujan deras tak dapat kami hindari. Sehingga mau tyidak mau saya dan Topan harus singgah untuk berteduh di rumah warga, karena kami tak memakai jas hujan. Sementara Mitha dan uncle Japh kami tidak tahu singgah dimana berteduh. Tuan rumah tempat kami singgah berteduh sangat baik, sangat hangat menyambut kedatangan kami, bahkan si bapak mengajak kami masuk ke dalam rumahnya untuk ngopi sejenak. Dengan alasan merepotkan, kami menolak ajakan bapak tersebut secara halus dengan alasan menunggu teman, siapa tahu lewat dan tidak melihat keberadaan kami jika kami masuk ke dalam. Setelah hampir 20 menit menunggu, kami memutuskan untuk kembali dan menunda mimpi kami ke Cancar. Karena secara logika sudah tidak memungkinkan untuk ke Cancar, melihat kondisi cuaca yang tidak pantas. Hujan deras, kabut dan awan hitam yang memayungi Manggarai Tengah memaksa kami untuk mengalah pada kenyataan. Dengan berat hati kami memutar balik motor menuju Labuan Bajo sembari mencari keberadaan Mitha dan Uncle Japh. Kami menemukan motor mereka terparkir di depan rumah warga, kami berhenti lalu mencari keberadaan mereka diantara rumah-rumah warga. 
Lokal, hanya saya dan kucing itu
Mereka berteduh di rumah salah satu warga yang habis melakukan acara adat, acara adat yang masih merupakan prosesi terakhir dalam rangkaian sebuah acara pernikahan. Tuan rumah langsung mebuka pintunya setelah melihat keberadaan kami di luar dan mengajak kami masuk ke dalam rumah. Kami berbaur dengan mereka, hampir 20 orang lelaki dewasa. Kami tak serta merta bisa mereka terima, kami pun tak lepas dari interogasi mereka. Pertanyaan mereka macam-macam, mulai dari tujuan dan misi kami ke Cancar, keluarga kami di Cancar, asal kami, dan seabrek pertanyaan interogasi lainnya. Setelah mereka mendengar penjelasan kami, saatnya mereka yang bercerita panjang lebar, hingga belasan cangkir kopi yang mengepul asapnya dan 4 piring kue keluar dari dalam bilik diantar oleh 3 ibu-ibu. Tanpa malu-malu kami langsung menyesak kopi panas tersebut, dingin yang menjalari tubuh kami terhangatkan oleh secangkir kopi panas buatana ibu-ibu tadi. Kopi asli tanah Flores, yang mereka namakan kopi Manggarai, ditanam di kebun sendiri, dipetik dan diolah secara tradisional hingga menjadi serbuk kopi yang siap diseduh dengan air yang mendidih. Tidak perlu diapa-apakan untuk menjadikannya kopi yang bercita rasa enak, dengan cara tradisonal yang masih menjadi kearifan local mereka mampu menghadirkan cita rasa kopi yang senantiasa membuat kami rindu akan Kopi Manggarai. Penyuguhannya pun menggunakan gelas yang terbuat dari kaleng almunium, sehingga menambah khas cita rasa kopi Manggarainya. Hujan di luar sudah mulai meredah, jam digital menunjukkan sudah hampir pukul 2. Dengan mengucapkan banyak terima kasih kami berempat pamit untuk melanjutkan perjalanan kami kembali ke Labuan Bajo.
Sunset Labuan Bajo
Sekita pukul 4 sore kami tiba kembali di Labuan Bajo setelah melewati drama perjalanan yang sangat seru, dari menerobos hujan deras hingga bensin hampir habis dan semua uang dititip di motor uncle Japh. Berdasarkan hasil googling saya waktu masih di Makassar, saya mengajak Topan, Uncle Japh dan Mitha ke salah satu cafĂ© yang banyak sekali direkomendasikan oleh beberapa blogger yang sudah pernah ke Labuan Bajo. Kafe Paradise. Beberapa blogger mengeluarkan statement bahwa belum sah ke Labuan Bajo jika tidak berkunjung ke Kafe Paradise. Ketika kami tiba, suasana kafe masih agak lengang, mungkin karena belum pukul 5 sore. Kami disambut oleh waites kafe, yang semuanya laki-laki dan hampir semuanya berambut gimbal. 

Karena kafe masih lengang, sehingga kami masih bebas memilih tempat duduk. Kami memilih posisi yang langsung menghadap ke laut, untuk menyaksikan keindahan matahari terbenam versi Labuan Bajo. Menunggu matahari terbenam kami menikmati cemilan dan minuman yang kami pesan, semakin lama semakin banyak pengunjung yang datang, tetapi tak satupun pengunjung yang warga Negara Indonesia selain kami berempat. WAWWWW. Posisi kafe yang terletak diatas bukit menjadikan kafe ini semakin sempurna untuk menyaksikan matahari terbenam. Matahari Labuan Bajo perlahan turun, pancaran sinar keemasan yang terbias oleh air laut semakin mendramatisir dan memanjakan mata kami. Dengan latar pelabuhan Labuan Bajo dan beberapa pulau yang berbukit-bukit membuat kami mengakui opini beberapa traveler bahwa Labuan Bajo menjadi salah satu kota nomor wahid dengan kecantikan matahari terbenamnya. Dan setelah sekian lama menyaksikan sunset, akhirnya ada pemandangan sunset yang menyaingi sunset Pantai Losari, Kota Makassar,  Sunset Kota Labuan Bajo.Sunsetnya bikin susah move on. Labuan Bajo Aku Rindu. Tetapi bagaimanapun, sunset Labuan Bajo dan sunset Pantai Losari Makassar sama-sama memiliki keindahan dan kecantikan tersendiri yang akan terkenang bagi para penikmat sunset.
Teman menikmati Sunset
Kopi Flores dan Sunset